Senin, 13 Oktober 2008

Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan serta Tanggung jawab Sosial Perusahaan

KEMISKINAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN SERTA TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
0leh : wiwik Widiati dan Santobri
(Pengurus Kompartemen Lingkungan GAPKI Cabang Riau)

I. Pendahuluan

Undang- Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, antara lain menjelaskan tentang visi pembangunan nasional yaitu ”terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Menurut Kuncoro Mudrajat (2007) untuk mencapai visi pembangunan nasional tersebut terdapat empat masalah dasar yang harus dipecahkan dalam jangka pendek dan menengah, antara lain pertama : relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pascakrisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun), kedua masih tingginya pengangguran (9–10%), ketiga tingginya tingkat kemiskinan (16–17%) di Indonesia, dan keempat rendahnya daya saing industri Indonesia

Dalam upaya mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut, serta dihadapkan pada empat permasalahan mendasar yang dihadapi Bangsa Indonesia, maka Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional, telah mengusulkan 3 misi utama industrialisasi yang bertujuan untuk tercapainya pembangunan jangka panjang nasional tersebut, antara lain pertama melalui Penurunan Angka Kemiskinan dan pengangguran, melalui peningkatan kesempatan kerja dan berusaha; kedua Peningkatan Daya Saing Industri Nasional; dan ketiga Pertumbuhan Ekonomi dengan Peningkatan Ekspor Produk Olahan Bahan Baku Migas dan Nonmigas (Kadin Indonesia dalam Mudrajat, 2007).

Sejalan dengan pikiran di atas, upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai melalui pembangunan ekonomi, yang bermodalkan pada sumber daya alam dengan tujuan dapat memberikan manfaat ekologis, manfaat ekonomi dan manfaat social. Di sisi lain eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran berdampak negatif pada terjadinya degradasi lingkungan baik lingkungan fisik, ekonomi maupun budaya.

Kegagalan atau ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam beradaptasi terhadap proses pembangunan ekonomi serta ketidaksiapan negara untuk mengantisipasi degradasi lingkungan yang terjadi, telah menimbulkan permasalahan baru berupa permasalahan ekonomi dan sosial-budaya yang akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Munculnya opportunity cost baik bagi masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak seperti air bersih atau pengelolaan udara dan air yang tercemar, mengatasi banjir dan kekeringan, longsor serta bencana alam lainnya, akan diikuti dengan krisis sosial-budaya masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut, seperti gangguan kesehatan, menurunnya tingkat kesejahteraan, pengangguran dan juga kemiskinan..

II. Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri (Azhar, 2003)

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial (Riyanto, 1999). Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah.

Menurut Panayatou (2000) dalam Hadi (2007), pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada degradasi lingkungan. Alasan pertama penyebabnya adalah kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi dan penyebab kedua adalah keterbatasan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui.

Proses pembangunan ekonomi yang diikuti dengan kerusakan lingkungan, serta adanya masyarakat yang terpinggirkan disebabkan karena ketidakberdayaan bahkan kegagalan untuk beradaptasi terhadap perubahan, telah mengakibatkan timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, pengangguran dll. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif dan saling berbalik. Kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Atau pun kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan yang terjadi pada periode sebelumnya.

Hubungan sebab akibat tersebut dapat terus berlanjut membentuk siklus yang tidak berujung. Pada kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Sehingga status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali, demikian pula kecenderungan yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan. Hal ini ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam.

Beberapa kejadian bencana alam seperti banjir, longsor dan bencana alam lainnya mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh perbuatan tangan manusia dalam bentuk eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang tidak terbatas. Sehingga terjadi hubungan sebab akibat dalam bentuk kemiskinan dan kerusakan lingkungan serta kerusakan lingkungan yang berakibat pada kemiskinan.

Program pembangunan ekonomi yang digulirkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, masih belum menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting, sumberdaya alam dipaksa untuk memberikan pertumbuhan ekonomi hingga melampaui daya dukungnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan, adalah mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta mengedepankan keadilan sosial. Sehubungan dengan pokok pikiran tersebut, maka badan usaha baik milik negara (BUMN) maupun swasta nasional (PBSN) yang bergerak di sektor jasa maupun industri manufaktur, harus dilibatkan dalam proses pembangunan sosial untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar. Logika yang dibangun dalam hal ini adalah bahwa suatu industri untuk keberlanjutan usahanya tidak cukup hanya didukung oleh sumberdaya alam yang berlimpah serta teknologi sebagai penunjang. Lingkungan fisik tempat berusaha yang bebas dari bencana alam serta lingkungan sosial masyarakat yang sejahtera bebas dari kemiskinan sangat diperlukan dan sangat berpengaruh dalam menjamin kelangsungan hidup perusahaan.

III. Corporate Social Responsibility dan Dasar Hukumnya

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dan pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial budaya yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku. (Riyanto, 1999).

Menurut Hadi (2006) Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat dengan perusahaan yang disebabkan karena dominasi kekuatan, akan menimbulkan konflik yang tidak setara. Biasanya akan ditandai dengan keluhan masyarakat terhadap perusahaan dengan berbagai isu yang digulirkan seperti isu lingkungan, isu penyerobotan lahan, isu ketenagakerjaan dll. Sehingga bila tidak disikapi akan timbul kesalahan dalam pandangan masing-masing pihak, perusahaan menganggap bahwa masyarakat hanya mencari-cari perkara supaya memperoleh kompensasi, sementara sikap bertahan perusahaan akan dipandang sebagai sikap yang mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan masyarakat dan lingkungannya.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), mensyaratkan bahwa pemerataan adalah unsur penting dalam pembangunan. Dalam proses pembangunan lebih dari 30 tahun persentasi rakyat yang naik dari garis kemiskinan telah bertambah, tetapi jumlah absolut rakyat yang masih ada dibawah garis kemiskinan masih besar. Selain itu kesenjangan antara golongan yang kaya dengan yang miskin juga bertambah, oleh karean pertumbuhan ekonomi golongan kaya lebih cepat dari golongan miskin.

Menurut Soemarwoto (2004), di dalam ekologi terdapat hukum yang menyatakan apabilo dua ekosistem yang berbeda tingkat perkembangannya berhubungan satu sama lain, terjadilah tukar menukar materi, energi dan informasi antara keduanya. Tetapi arus tukar menukar materi, energi dan informasi itu asimetris, yaitu arus dari kosistem yang lebih berkembang ke yang kurang berkembang lebih kecil dari yang sebaliknya. Jadi yang lebih berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hubungan itu dibanding dengan ekosistem yang kurang berkembang. Dalam ekologi dikatakan bahwa ekosistem yang kurang berkembang dieksploitasi oleh yang lebih berkembang, karena sistem yang lebih berkembang dapat menguasai arus informasi, baik jenis, besar maupun waktunya. Dengan penguasaan arus informasi, ia juga akan menguasai arus materi dan energi.

Misalnya sebuah perusahaan (dianggap ekosistem yang lebih berkembang) akan membuka proyek perkebunan di Propinsi Riau. Proyek tersebut menciptakan peluang lapangan pekerjaan baru secara langsung yaitu untuk dipekerjakan di proyek, maupun tidak langsung melalui efek gandanya seperti warung dan transport. Tetapi penduduk lokal (diangap ekosistem yang kurang berkembang) tidak melihat atau tidak dapat menggunakan kesempatan itu karena tidak mempunyai keterampilan atau dan modal yang diperlukan. Dermikian juga efek ganda sebagian besar dimanfaatkan oleh para pendatang.

Sebaliknya resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal adalah besar antara lain hilangnya sumber mata pencaharian, ketegangan sosial dan pencemaran. Misalnya lahannya terkena proyek pembanguan perkebunan, maka dia akan kehilangan pekerjaan dan pendapatanya, sementara lahannya tidak mendapatkan ganti rugi yang memadai bahkan tidak dapat sama sekali. Dengan datangnya orang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, kenaikan kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan yang berbeda antara pendatang dan penduduk lokal, terjadilah ketegangan sosial. Konsentrasi buruh yang terpisah dari keluarganya sering menimbulkan masalah prostitusi dan perjudian, yang selanjutnya meningkatkan kriminalitas. Kepadatan penuduk yang tinggi tanpa disertai perbaikan ketersediaan air dan sarana sanitasi, meningkatkan terjadinya penyakit menular. Itulah resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal.

Masalah itu tidak dapat dibiarkan dan perlu diambil suatu tindakan. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan usahanya, perusahaan juga dituntut untuk memiliki tanggung jawab sosial dalam rangka secara bersama-sama ikut membangunan ekonomi masyarakat di sekitar tempat usahanya. Dengan tujuan kesejahteraan masyarakat disekitar perusahaan akan meningkat sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan perusahaan. Dampak ini semua akan menciptakan iklim yang cukup kondusif bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau dikenal dengan instilah Corporate Social Responsibility (CSR) dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.

Dalam Konsep CSR, sesungguhnya kepentingan perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi, yang berimplikasi pada keputusan bisnis dan kebijakan sosial perusahaan harus mengikuti prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.

Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang akan menjadi payung hukum mengatur pelaksanaan CSR oleh perusahaan a.l sbb.:
· Pasal 2 berbunyi, ”......... tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran......”
· Pasal 74 Ayat 1 menyatakan, bahwa ” ....... perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR....”

Sejalan dengan istilah tanggung jawab sosial perusahaan, maka Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan seluruh BUMN-BUMN menjalankan program pengembangan masyarakat yang setara dengan CSR dan lebih dikenal sebagai Community Development (CD), melalui SK Meneg BUMN Nomor : KEP-236/MBU/2003 tentang program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, serta Surat Edaran Menteri Negara BUMN nomor : SE-433/MBU/2003, tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

IV. Implementasi CD/CSR oleh Perusahaan

Pemahaman terhadap CD/CSR di kalangan perusahaan memang masih rendah. Bahkan, program CD/CSR seringkali disejajarkan dengan hubungan masyarakat (humas). CD secara fungsional lebih kepada bagaimana membina lingkungan sekitarnya dengan program yang dibuat, sehingga tercipta hubungan harmonis dan saling memahami baik masyarakat terhadap keberadaan perusahaan, maupun sebaliknya. Sedangkan humas lebih menitikberatkan kepada bagaimana membina hubungan baik semata dengan pihak lain.

Bagi perusahaan BUMN, tanggung jawab sosial perusahaan diwujudkan dalam bentuk bina lingkungan/CD yang sudah diatur melalui Keputusan Menteri BUMN No. Kep 236/MBU/2003 yakni "BUMN wajib melaksanakan program kemitraan BUMN dengan Usaha Skala Kecil dan program bina lingkungan". Tujuan utama program CD itu yakni partisipasi BUMN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan, pemerataan pembangunan, dan perluasan lapangan kerja serta pemberdayaan masyarakat meningkat.
Masih kurangnya pemahaman perusahaan baik BUMN maupun swasta terhadap CD, serta di kalangan pemerintah, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah (otda), mengakibatkan pemerintah daerah seringkali berusaha agar dana CD dimasukkan dalam APBD untuk dikelola oleh pemda.

Dalam penerapan program Community Development (CD), secara moral, perusahaan mewujudkan eksistensinya membina lingkungan tidak hanya melalui keputusan teknis saja, akan tetapi juga melalui berbagai pendekatan, baik pendekatan sosial, psikologis, budaya, serta keagamaan, sehingga akan tercermin bahwa keberadaan perusahaan telah membawa perbaikan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Penerapan CSR di lingkungan BUMN dalam bentuk Program Bina Lingkungan (PKBL) atau Community Development (CD) bersifat wajib (mandatory), dengan besarnya dana yang dialokasikan adalah berkisar antar 1 - 4 % dari keuntungan bersih perusahaan. Kegiatan program Community Development (CD) oleh bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan tidak dilakukan sendiri oleh perusahaan, akan tetapi melibatkan dinas terkait.

Di sisi lain penerapan CSR oleh perusahaan swasta masih bersifat sukarela (voluntary), sehingga wajar bila penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masing-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, kontribusi dunia usaha diharapkan terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jenis bantuan yang diberikan bukan dari jumlah atau besarnya nilai, melainkan dari segi keefektifan serta kualitas dan pendekatan yang humanis agar semua bantuan memberikan manfaat bagi masyarakat penerima bantuan. Pemberian langsung dana bantuan CD oleh perusahaan dapat dilaksanakan dalam bentuk pembangunan prasarana dan sarana umum, bantuan sarana ibadah, peningkatan kesehatan masyarakat, bantuan pendidikan masyarakat dalam bentuk pemberian beasiswa dan mengangkat anak asuh, pelestarian seni budaya setempat, kegiatan olahraga, dan bantuan pengingkatan keamanan lingkungan.

Kombinasi pemberian bantuan langsung dalam bentuk modal kerja serta bantuan tidak langsung kepada masyarakat di sekitar lokasi perusahaan dapat diwujudkan dalam bentuk pelatihan secara berkesinambungan, dalam bentuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam yang ada serta potensi masyarakat itu sendiri.


BAHAN BACAAN


Anonim. 2005. Di Kalangan Birokrat Maupun Pimpinan Perusahaan Rendah, Pemahaman Bina Lingkungan, Harian Umum Pikiran Rakyat (Senin 9 Mei 2005)

Azhar. 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. Universitas Sriwijaya,Palembang.
Daniri Mas Achmad, Ketua National Mirror Committee on Social Responsibility & Maria Dian Nurani Anggota National Mirror Committee Social Responsibility. http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/1id15040.html

Hadi, Suharto P. 2006. Resolusi Konflik Lingkungan, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Mudrajad, K. 2007. Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?, Sumber: Seputar Indonesia, http://www.seputar-.com/edisicetak/periskop/visi- Indonesia, -2030-quo-vadis-3.html, Sabtu, 18/08/2007

Riyanto, Eggi Sudjan. 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektif Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara dari Bogor, Membangun Sistem Agribisnis. Penrbit Yayasan USESE bekerjasama dengan Sucofindo, Jakarta.

Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Tidak ada komentar: