Senin, 13 Oktober 2008

Eskploitasi Hutan dan Bencana lLngkungan

PEMBANGUNAN, EKSPLOITASI HUTAN DAN BENCANA LINGKUNGAN
DI PROPINSI RIAU
Oleh : Santobri *)

PENDAHULUAN

Makna hakiki dari pembangunan adalah menjadikan lebih baik. Pembangunan telah berkembang jauh dari hanya sekedar konsep namun telah menjadi visi, teori dan juga proses. Dikenal ada dua model utama pembangunan yaitu model kapitalis dan model sosialis. Kaum developmentalis yakni bahwa negara maju yang kapitalis adalah bentuk ideal dari sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Pembangunan ekonomi merupakan syarat bagi demokrasi. Industrialisasi akan melahirkan kekayaan dan kesenangan, maka kemudian orang akan mau berpartisipasi dalam politik, dan ujungnya kebebasan melahirkan demokrasi. Pembangunan bermakna sebagai industrialisasi, yaitu pergeseran aktivitas produksi dari semula dominan di bidang pertanian dan produksi barang mentah, ke aktivitas industri (Syahyuti, 2006)

Dalam penerapannya konsep di atas belum sepenuhnya berjalan. Banyak pihak sepakat bahwa permaslahan utama kegagalan teori pembanguan adalah karena ideologi pembangunan yang kita anut bersifat ideologi pembangunan kapitalis barat yang sempit. Di sini pembangunan dimaknai sebagai perkembangan ekonomi saja, yaitu produksi barang dan jasa dari masyarakat, dengan indikator pendapatan, GNP, GDP dll. Seluruh indikator ini seharusnya baru merupakan bagian, belum menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mewujudkan pembangunan sejati.
[1]
Pembangunan juga bagaikan dua mata pedang, dimana pembanguan itu dibutuhkan untuk kesejahteran manusia di sisi lain pembangunan bisa berdampak negatif terhadap lingkungan, yang ujung-ujungnya juga mengancam terhadap kesejahteraan manusia itu sendiri.
Pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan dampaknya dapat dirasakan di propinsi Riau saat ini. Berbagai kegiatan pembangunan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi seperti pembangunan industri perkebunan dan hutan tanaman industri yang telah mengkonversi hutan alam berdampak sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang konon pertumbuhan ekonomi di Propinsi Riau mencapai 8 % di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 6 %. Namun dibalik itu semua juga telah meluluh lantakan hutan alam Riau yang selanjutnya menimbulkan berbagai bencana alam maupun bencana kemanusiaan sebagai mana diuraikan di bawah ini.


KONSERVASI HUTAN ALAM MENJADI TANAMAN MONOKULTUR

Kejadian memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi hutan secara masif sejak tahun 1980-an. Setelah ratusan ribu hektar hutan dilepaskan kepada pengusaha HPH, pemerintah kemudian melakukan politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha sawit dan HTI.

Pada saat yang bersamaan, akhir tahun 90-an kebutuhan dunia akan CPO (minyak sawit) semakin meningkat, ditambah ambisi dua industri pulp dan paper menjadi eksportir kertas terbesar dunia plus keinginan Pemerintah Daerah untuk memperluas perkebunan kelapa sawit menjadi 2,5 juta hektar yang ditargetkan, terjadilah simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha yang pada akhirnya meluluh lantakan tutupan hutan alam Riau.

Pengembangan dan perluasan kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri, membuat sebagian orang menangguk rezeki sekaligus menyisakan nestapa bagi sebahagian yang lain. Selain ”penyerobotan tanah” oleh perusahaan, persoalan lain adalah rusaknya lingkungan. Perkebunan kelapa sawit maupun HTI seringkali memasuki wialayh teritorial masyarakat sehingga menimbulkan konflik yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Konflik tersebut tidak jarang melibatkan satuan pengamanan swasta dan atau kepolisian untuk melakukan penyelesaian yang seringkali berakhir dengan korban jiwa. Di masa lalu, keterlibatan militer sebagai tenaga pengamanan juga tidak terlepas dari sektor ini.

Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau pada dasarnya telah mencapai titk jenuh dan melebihi carriying capacity. Dikatakan jenuh karena industri ini telah memasuki kawasan dengan tingkat kerentanan ekologis yang tinggi. Disamping memasuki kawasan-kawasan produktif masyarakat, perkebunan kelapa sawit juga memasuki kawasan gambut.

Menurut Andiko (2006), kondisi seperti di atas adalah akibat dari suatu kebijakan yang berpihak pada pembangunan perkebunan skala besar, dimana hukum dan peraturan dibuat untuk mendorong pembangunan perkebunan. Walaupun dibuat untuk memastikan keamanan investasi, perencanaan yang terkoordinasi, kepentingan umum dan penyelesaian konflik tumpang tindih hak, namun hukum dan peraturan tersebut sedikit sekali memuat ketentuan pengukuhan status hak terhadap hak-hak dan kepentingan komunitas. Seringkali hukum memperlakukan apa yang ada kenyataannya adalah tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai tanah negara.












KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Didasarkan pada kebutuhan dunia, ambisi pemerintah, dan nafsu pengusaha untuk memperoleh keuntungan dengan biaya murah, maka pembersihan lahan dengan pembakaran pun dipraktekan. Sayangnya praktek pembukan lahan dengan biaya murah tersebut tidak mempertimbangkan kerugian yang tercipta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2003 saja WALHI Riau mencatat hanya dalam waktu sepuluh hari (2-12 Juni 2003) adalah lebih dari 2400 titik api tersebar di 57 perusahaan perkebunan dan HTI dengan luasan yang lebih dari 50 ribu hektar. Total kerugian langsung mencapai 19 milyaran rupiah lebih, tidak termasuk variabel transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan panen dan peningkatan penderita ISPA akibat asap.

Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian akibat terjadinya erosi karena tanah 20-30 kali lebih peka dibanding dengan daerah hutan yang tidak terbakar, terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan hilangnya berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna di lantai hutan, mempercepat penghilangan biomasa lantai hutan, mempercepat pencucian hara tanah, terjadinya banjir dan pulisi udara dan air.

Asap adalah ritual tahuan bencana di Riau. Menjadi ritual karena terjadi setiap musim tanam dan musim kering. Menjadi ritual karena hampir seluruh pihak di Riau mengganggapnya sebagai suatu hal yang lumrah dan menajdi bagian dari ritme kehidupan yang harus dilalui. Padahal lagi, asap yang ditimbulkan dari kebakaran/pembakaran lahan telah menimbulkan kerugian milaran rupiah setiap tahunnya. Yang lebih aneh, sejak dinobatkan menjadi propinsi penghasil asap terbesar di Indonesia, upaya pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi ini tidak memperlihatkan kemajuan yang berarti. Selalu saja bergelut dengan permasalahan klasik, seperti kekurangan dana dan peralatan.

Sejumlah dampak tersebut di atas tentunya harus menjadi perhatian agar nominal kerugian yang tercipta tidak terus membesar. Namun lagi-lagi ada kelemahan mendasar yaitu lemahnya penegakan hukum. Walaupun sudah ada bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan LC yang dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, namun pemerintah tidak melakukan apa-apa. Kata-kata ditindak tegas hanya sekedar lips service tanpa pernah ada tindak lanjutnya.

Yang terlihat selama ini adalah pemerintah baru sibuk ketika kebakaran telah terjadi. Itu pun setelah menuai protes dari negara tetangga, sehingga terkesan langkah-langkah yang diambil hanya untuk menyenangkan hati negara tetangga walaupun jelas-jelas pelaku pembakaran tersebut justru perusahaan negara tetangga itu pula.


ILLEGAL LOGGING

Secara faktual, penebangan liar pasti diketahui masyarakat luas dan oknum petugas keamanan, karena pola, struktur dan lintasannya relatif sama. Kalau ada argumen pemerintah atau petugas keamanan tidak mengetahui, rasanya sangat sulit untuk dipahami.

Akar masalah illegal logging menurut Smith et al (2003) dalam Irianto (2006) terjadi karena korupsi sistematis yang kolutif, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menyebar, persisten, mangakar, manahun dan sulit diberantas karena hampir semua lini menikmati dan memperoleh manfaat hasil jarahan. Perdagangan global kayu illegal menjadi multimillion trade sehinga banyak pihak mengais bisnis rejeki haram yang sebenarnya merupakan kejahatan kriminal terhadap hutan (forest crime). Pemerintah yang fragmented pasca kejatuhan rezim Orde Baru memperburuk keadaan karena setiap elite politik dan penguasa ekonomi mencari sumber-sumber pendanaan untuk merebut kekuasaan yang lebih besar dan hutan menjadi salah satu sumber dana potensial rebutan elite politik dan ekonomi.

Menurut berita diberbagai media massa baik lokal maupun nasional, banyak pejabat pemerintah di Propinsi Riau yang tersangkut hukum berkenaan dengan masalah illegal logging. Mereka menggunakan pengaruh dan dananya untuk memanipulasi kebijakan dengan menafaatkan kekacauan pemerintah untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Pengusaha hutan yang oportunis merasa diuntungkan dalam jangka pendek dengan murahnya biaya produksi dan proses administrasinya sederhana sehingga secara bisnis menjadi sangat menguntungkan meskipun dalam jangka panjang menghancurkan recovery hutan alam, keragaman hayati, dan keberlanjutan usaha perkayuan itu sendiri. Dampak sosial yang sangat mengerikan dan sering kali muncul akibat illegal loging adalah intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal oleh oknum aparat.

Dampak lanjutan dari illegal logging adalah terjadinya banjir dan kekeringan dimana-mana, kapan saja. Diperkirakan hampir semua badan sungai yang ada di Propinsi Riau terancam mengalami pendangkalan. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota umumnya kurang peduli karena tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) dan justru sebaliknya.

Padahal di negara-negara maju seperti Prancis, Thailand, Cina dan Australias, tubuh air selalu dilindungi hutan alam dan buatan yang bagus sehingga selain dapat menghasilkan air juga dapat digunakan untuk pariwisata, listrik, perikanan darat.

UPAYA APA YANG HARUS DILAKUKAN

Memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas dapat disusun suatu rekomendasi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Riau yang berkelanjutan yakni melalui:
Kebijakan tentang manajemen tata ruang wilayah yang berkelanjutan
Fungsi pengawasan dan pengendalian harus dilaksanakan secara partisipatif diantara semua stakeholders termasuk masyarakat.
Dalam melaksanakan pembangunan secara umum harus tetap konsisten dan konsekuen terhadap konsep 8 jalur pemeratan yang jadi model pembangunan di Indonesia yaitu (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan (3) pembagian pendapatan (4) kesempatan kerja (5) kesempatan berusaha (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita (7) penyebaran pembangunan dan (8) kesempatan memperoleh keadilan.

Selanjutnya perlu dikembangkan pembangunan berdimensi kemanusiaan atau pembangunan berdimensi kerakyatan sebagai antitesis dari konsep dan teori pembangunan yang berorientasi produksi, dan menganut paham modernisasi dan industrialisasi. Konsep pembangunan berdimensi kerakyatan adalah merumuskan kebijakan pembangunannya dengan menjadikan rakyatnya sebagai pertimbangan utama.

Pemberdayaan publik dalam akses, kontrol, dan partisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan strategi dan pendekatan yang perlu diintensifkan dalam mengatasi penebangan liar akibat korupsi yang kolutif. Selain murah dan mudah, pengawasan masyarakat akan menjadikan hutan sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan ekploitasi hutan dan bencana lingkungan berkenaan dengan pencegahan, penanggulangan dan pemantauan dan rehabilitasi, yakni :
- Stop konversi lahan
- Melarang dengan tegas metode bakar dalam pembukan lahan
- Memberlakukan hukuman bagi penjahat lingkungan secara proporsional, dengan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak yang ditimbulkannya
- Mengembalikan fungsi kawasan sesuai RTRW.
- Penguatan LSM dan Media
- Mengembangkan program pemulihan hutan melalui pemberdayaan publik

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksploitasi sumberdaya alam berupa hutan dan lahan yang tidak dilakukan secara bijaksana, akan menimbulkan berbagai bencana, yang akhirnya menyulitkan kehidupan manusia itu sendiri. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri memang menciptakan sejumlah pekerjaan dan mendorong pertambahan pendapatan ekspor, akan tetapi juga dapat menjebak komunitas masyarakat untuk masuk dalam kemiskinaan dan bencana ekologi

Ekosistem yang tidak dikelola dengan baik akan membahayakan manusia karena mempertinggi resiko terjadinya banjir, kekeringan, kegagalan panen pertanian ataupun penyakit. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam yang terjadi secara akumilatif dan terus-menerus.
Degradasi ekosistem cenderung merugikan masyarakat pedesaan dibandingkan dengan masyarakat perkotaan dan lebih lanjut lagi dampaknya dirasakan oleh masyarakat miskin.

Pembangunan harus memperhatikan unsur berkelanjutan, dengan memperhatikan konsep 8 jalur pemerataan dan kosep pembangunan berbasis kerakyatan.











BAHAN BACAAN

Andiko. 2006. Catatan Perjalanan : Ketika Badai Sawit Mempertemukan; Catatan Si Perawa terhadap Buku Tanah yang Menjanjikan (Promise Land). http://my.opera.com/andikonsultanmancayo/archive/monthly/?month=200612. Tanggal berkunjung 30 Agustus 2007.
Atmakusumah, M. Iskadar & Warief D Basorie. 1996. Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Irianto, Gatot. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Penerbit Papas Sinar Sinanti. Jakarta.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara Dari Bogor, Membangun Sistem Aghribisnis. Penerbit Yayasan USESE bekerjasama dengan Sucofindo, Jakarta.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penerbit PT Bina Rena Pariwara. Jakarta.Wilches, G & InterWorks. 1995. Bencana dan Lingkungan Edisi ke 2. Program Pelatihan Bencana. UNDP-DHA.
[1] Mahasiswa SM I Tahun 2007/2008, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, UNRI

Tidak ada komentar: