Selasa, 14 Oktober 2008

MENATA KAWASAN LINDUNG SETEMPAT
SEMPADAN SUNGAI

Oleh Wiwik Widiati
Ast. Sistem Manajemen Lingkungan
PTPN V- Pekanbaru

The riparian buffer area (sempadan sungai) is a strip of land that is “sacrificed” to protect the riparian area itself from the pollutants impact, nutrients and other edge effects such as water filtration, erosion and flood control

River, stream and its runs, has been identified flow accros estate. The usage of buffer area has been practiced by company as the effort either as land optimalitation or to protect the assest. The need to be a Sustainable oil palm industry, should drive company to keep natural systems by arranging a comprehensive land usage conservation program to undo damage caused by past practices, restoring landscapes and greening it to its originally, without management intervention, the buffer river have no chance of recovering.

An effective width for the buffer area has been determined by the law, to ensure the buffer river is wide enough to prevent transported sediments entering the river.

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daerah di sekitar suatu sungai, dimana curah hujan (run off) di kawasan tersebut mengalir ke sungai. DAS merupakan satu kesatuan ekosistem, dengan unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi dan manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut.

Saat ini pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di suatu kawasan DAS sangat beragam dan cenderung tidak tertata baik sesuai dengan fungsi, kemampuan dan daya dukung lahannya. Kegiatan sektoral, seperti pengembangan areal perkebunan telah merubah tatanan hutan yang bersifat polikultur menjadi tanaman monokultur. Tutupan hutan sebagai faktor utama yang akan menjaga keseimbangan tata air pada suatu kawasan DAS terus mengalami penurunan, kondisi ini akan sangat mempengaruhi keseimbangan fungsi hidrologis dari suatu DAS.

UU no 19 Tahun 2004 tentang kehutanan menyebutkan bahwa dari suatu luasan DAS, maka kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % dengan sebaran yang proporsional dan mempertimbangkan optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat, serta pertimbangan geografis Indonesia yang memiliki iklim dengan curah hujan yang tinggi yang akan bersinergi dengan daerah yang bergelombang, berbukit, bergunung, yang sangat peka terhadap keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi serta kekeringan air.

Perkebunan kelapa sawit paling tidak telah ikut memberikan andil terhadap terjadinya perubahan siklus hidrologis dengan adanya fluktuasi debit air sungai yang besar antara musim hujan dan musim kemarau, yang selanjutnya berakibat pada meningkatnya intensitas banjir, erosi, sedimentasi. longsor dan kekeringan.

Sumber: PTPN V
Sempadan Sungai Sei Tapung Kiri

Secara umum penataan ruang di areal perkebunan kelapa sawit belum sepenuhnya mengalokasikan sebagian lahannya untuk areal konservasi, bahkan areal sempadan sungai yang merupakan kawasan lindung setempat, telah ditanami dan dijadikan areal produktif ditanami kelapa sawit, dengan berbagai argumentasi seperti optimalisasi lahan, pengamanan dari penjarahan lahan dsb. Hal ini tentu saja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelamatan DAS tidak terlepas dari penyelamatan fungsi dan peruntukan sempadan sungai. Saat ini, upaya pemulihan, pengamanan areal sempadan sungai serta kawasan resapan air (catchment area), menjadi fokus perhatian para stake holder maupun share holder. Seperti kebijakan Pemerintah Prop. Riau dalam melakukan penataan Kawasan DAS melalui Konsep Skenario Riau Hijau Tahap Pertama (2005 -2020), maupun Program Minyak Sawit Lestari (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang memasukkan pengelolan sempadan sungai dalam salah satu Prinsip dan Kriterianya.

Mengapa Sempadan Sungai?

Sempadan sungai, didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai termasuk sungai buatan/kanal/ saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi sungai. Daerah sempadan mencakup daerah bantaran sungai yaitu bagian yang hanya tergenang air pada musim hujan dan daerah di luar bantaran yang akan menampung luapan air sungai di musim hujan dan memiliki kelembaban tanah yang lebih tinggi.

Di daerah bantaran banjir, sempadan sungai merupakan satu kesatuan daerah ekologi dan hidrolis sungai yang penting, tidak dapat dipisahkan dengan badan sungainya. Adanya kegiatan di atas kawasan sempadan sungai menyebabkan gangguan dan rusaknya sistem ekologi dan hidrolisnya. Secara hidrolis sempadan sungai berfungsi untuk mengurangi kecepatan air ke hilir, sehingga energi air di sepanjang sungai dapat diredam, dan erosi pada tebing dan dasar sungai dapat dikurangi secara simultan.
Sempadan sungai juga merupakan daerah tata air sungai, membantu terjadinya penyerapan aliran air hujan ke dalam tanah. Keberadaan vegetasi di areal sempadan sungai, merupakan retensi alamiah yang akan membantu tanah untuk menyerap aliran air hujan, sehingga mengurangi volume air yang mengalir ke sungai dan mencegah terjadinya banjir dan erosi. Secara ekologis, vegetasi sempadan sungai secara alami mendapatkan pupuk dari proses sedimentasi berkala dari hulu dan tebing, selanjutnya akan menjadi pemasok nutrisi komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini mendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka hulu-hilir.

Rawa-rawa yang dipertahankan sebagai sumber air

Vegetasi kawasan sempadan sungai selain merupakan habitat berbagai jenis biota sungai, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu air, yang menyebabkan kematian biota perairan karena kekurangan oksigen.

Dasar Hukum

Kawasan sempadan sungai termasuk ke dalam kawasan lindung setempat yang keberadaanya harus dipertahankan. Payung hukum yang melandasi keberadaannya al.:
1. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
2. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.
3. PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
4. Kepres RI No. 32 Tahun 1990 tentang Pengolahan Kawasan Lindung.


Hutan yang dipertahankan sebagai Kawasan Lindung Setempat

Berdasarkan hal tersebut di atas, kawasan sempadan sungai ditetapkan sebagai kawasan lindung, dengan ketentuan sbb.
1. Sekurang-kurangnya 100 meter kanan kiri sungai besar
2. Sekurang-kurangnya 50 meter kanan kiri sungai kecil/anak sungai besar.
3. Kawasan sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m;
4. Kawasan sekitar mata air dengan radius 200 m;

Yang dimaksud sungai kecil adalah sungai dengan lebar <> 30 m.
Pengembalian peruntukan sempadan sungai sebagai kawasan lindung akan memberi manfaat ekologis dari hulu hingga muara sungai. Hasil penelitian di Amerika memperlihatkan bahwa lebar sempadan sungai yang bervegetasi paling sedikit adalah 33,3 meter untuk menghasilkan pengurangan yang berarti dari kandungan zat pencemar ke sungai. Sedangkan untuk mencapai naungan sungai yang maksimal dibutuhkan lebar sempadan 26,6 meter di kedua sisi sungai.

Menurut Kern (1994) dalam Maryono (2005) sungai dapat diklasifikasikan sbb.:

Sungai Kecil : < 1 m
Kali kecil : < 1 – 10 m
Sungai Menengah
Sungai Kecil
Sungai Menengah
Sungai
10 – 20 m
20 – 40 m
40 – 80 m
Sungai Besar
Sungai Besar
Bengawan
80 – 220 m
> 220 m
Sumber: Kern 1994, dalam ( Maryono 2005)

Kawasan Perlindung Setempat di areal Perkebunan Kelapa sawit

Beberapa areal tanaman perkebunan kelapa sawit telah diidentifikasi tidak saja hanya dilalui oleh sungai dan anak sungai, akan tetapi juga dijumpai adanya kawasan rawa/sumber mata air yang harus dipertahankan dan bahkan dijaga keberadaannya, mengingat fungsinya sebagai penyedia air untuk mendukung kebutuhan air proses pabrik maupun untuk memenuhi kebutuhan domestik karyawan.

Menurut Balai DAS Dept. Kehutanan, di Propinsi Riau terdapat 4 DAS utama, yaitu DAS Siak, DAS Kampar, DAS Rokan dan Das Indragiri. Di dalam Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS, terdapat berbagai kegiatan perusahaan perkebunan kelapa sawit baik BUMN maupun Swasta


Pengkatagorian dan pencirian secara lebih rinci terhadap seluruh kawasan lindung setempat yang berada di areal perkebunan kelapa sawit, sangat diperlukan untuk membedakan antara kawasan DAS, rawa-rawa/sumber mata air maupun hutan lindung (atau preservation area?), dengan mengacu pada peraturan yang ada, agar tidak terjadi salah persepsi sehingga akan memudahkan dalam pengelolaannya.

Pemulihan/Pengelolaan Kawasan Sempadan Sungai

Tingginya tingkat konversi lahan sempadan menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perkebunan harus diimbangi dengan peningkatan upaya dan dukungan manajemen dalam melestarikan dan memulihkan kawasan sempadan sungai.

Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mengembalikan peruntukan lahan sempadan sungai menjadi kawasan lindung setempat dapat dilakukan dengan cara sbb.:

1. Melakukan inventarisasi lokasi, luasannya serta dipetakan. Dilaksanakan tidak hanya pada kawasan sempadan sungai, akan tetapi termasuk juga daerah rawa-rawa dan sumber mata air, termasuk istilah hutan lindung yang harus diganti dengan istilah hutan yang dipertahankan.

2. Mengembalikan areal sempadan sungai sesuai peruntukkannya, yaitu untuk memulihkan fungsi hidrologisnya, yaitu dengan meningkatnya kemampuan sungai untuk menampung luapan air di saat musim hujan, serta untuk memulihkan fungsi ekologis sungai.

3. Pada saat replanting, tanaman yang sudah tidak produktif yang berada pada areal sempadan sungai tidak perlu ditumbang, tetapi ditinggalkan, kemudian dilakukan penyisipan dengan dengan jenis tanaman non perkebunan.

4. Untuk kawasan sempadan sungai yang vegetasinya telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit, maka dapat dilakukan melakukan penyisipan dengan jenis tanaman tertentu (kayu-kayuan) sebagai tanaman sela. Dengan tetap harus memperhatikan kenekaragamannya

5. Jenis-jenis tanaman yang dipilih diutamakan pada keanekaragaman jenisnya, dengan produk hasil hutan non kayu (HHNK), sehingga akan dihasilkan aneka komoditas yang memiliki nilai ekonomis, seperti :
· Jenis pohon sialang seperti Kedundung Batu, Balau, Kruing, dan Ara, selain merupakan tanaman lokal khas Prop. Riau, juga merupakan tempat bersarangnya lebah madu hutan,

· Jenis pohon yang dapat menghasilkan getah dan resin

· Jenis pohon yang dapat menghasilkan buah-buahan seperti durian, sukun, lada, pala, jambu mente atau jenis lainnya.

· Jenis pohon yang dapat menghasilkan rempah-rempah seperti kayu manis, cengkeh atau jenis lainnya.

Pohon dan Madu Sialang diantara Tanaman Kelapa Sawit

PENUTUP
Alam telah memiliki mekanisme pemeliharaan air yang sangat efisien, murah dan perawatan yang mudah dalam bentuk daerah sempadan sungai. Mengembalikan fungsi sempadan sungai selain merupakan upaya preventif untuk menanggulangi banjir, longsoran tebing, dan erosi sungai juga akan membantu menjaga tingkat penyerapan air untuk mengisi air tanah untuk menjaga sumber air secara berkelanjutan.


DAFTAR BACAAN

Agus Maryono, Sekjen ASEHI, Peneliti Sungai, Banjir dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Menentukan Lebar Sempadan Sungai di Indonesia”

-------------------, 2005, Eko Hidroulik Pembangunan Sungai, Edisi 5, Magister Sistem Teknik Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.
Artikel, Menata Kawasan Lindung, Menuju Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari

Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Penertiban Penggunaan Lahan Sempadan Sungai Mutlak Dilakukan
Emrizal Pakis, Mm (Ka Bappeda Prop. Riau), Pembangunan Sumberdaya Hutan Dalam Pembangunan Wilayah Berkelanjutan dan Implementasinya Dalam Konsep Riau Hijau.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, Hutan Rakyat

Senin, 13 Oktober 2008

Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan serta Tanggung jawab Sosial Perusahaan

KEMISKINAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN SERTA TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
0leh : wiwik Widiati dan Santobri
(Pengurus Kompartemen Lingkungan GAPKI Cabang Riau)

I. Pendahuluan

Undang- Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, antara lain menjelaskan tentang visi pembangunan nasional yaitu ”terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Menurut Kuncoro Mudrajat (2007) untuk mencapai visi pembangunan nasional tersebut terdapat empat masalah dasar yang harus dipecahkan dalam jangka pendek dan menengah, antara lain pertama : relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pascakrisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun), kedua masih tingginya pengangguran (9–10%), ketiga tingginya tingkat kemiskinan (16–17%) di Indonesia, dan keempat rendahnya daya saing industri Indonesia

Dalam upaya mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut, serta dihadapkan pada empat permasalahan mendasar yang dihadapi Bangsa Indonesia, maka Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional, telah mengusulkan 3 misi utama industrialisasi yang bertujuan untuk tercapainya pembangunan jangka panjang nasional tersebut, antara lain pertama melalui Penurunan Angka Kemiskinan dan pengangguran, melalui peningkatan kesempatan kerja dan berusaha; kedua Peningkatan Daya Saing Industri Nasional; dan ketiga Pertumbuhan Ekonomi dengan Peningkatan Ekspor Produk Olahan Bahan Baku Migas dan Nonmigas (Kadin Indonesia dalam Mudrajat, 2007).

Sejalan dengan pikiran di atas, upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai melalui pembangunan ekonomi, yang bermodalkan pada sumber daya alam dengan tujuan dapat memberikan manfaat ekologis, manfaat ekonomi dan manfaat social. Di sisi lain eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran berdampak negatif pada terjadinya degradasi lingkungan baik lingkungan fisik, ekonomi maupun budaya.

Kegagalan atau ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam beradaptasi terhadap proses pembangunan ekonomi serta ketidaksiapan negara untuk mengantisipasi degradasi lingkungan yang terjadi, telah menimbulkan permasalahan baru berupa permasalahan ekonomi dan sosial-budaya yang akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Munculnya opportunity cost baik bagi masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak seperti air bersih atau pengelolaan udara dan air yang tercemar, mengatasi banjir dan kekeringan, longsor serta bencana alam lainnya, akan diikuti dengan krisis sosial-budaya masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut, seperti gangguan kesehatan, menurunnya tingkat kesejahteraan, pengangguran dan juga kemiskinan..

II. Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri (Azhar, 2003)

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial (Riyanto, 1999). Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah.

Menurut Panayatou (2000) dalam Hadi (2007), pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada degradasi lingkungan. Alasan pertama penyebabnya adalah kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi dan penyebab kedua adalah keterbatasan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui.

Proses pembangunan ekonomi yang diikuti dengan kerusakan lingkungan, serta adanya masyarakat yang terpinggirkan disebabkan karena ketidakberdayaan bahkan kegagalan untuk beradaptasi terhadap perubahan, telah mengakibatkan timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, pengangguran dll. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif dan saling berbalik. Kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Atau pun kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan yang terjadi pada periode sebelumnya.

Hubungan sebab akibat tersebut dapat terus berlanjut membentuk siklus yang tidak berujung. Pada kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Sehingga status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali, demikian pula kecenderungan yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan. Hal ini ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam.

Beberapa kejadian bencana alam seperti banjir, longsor dan bencana alam lainnya mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh perbuatan tangan manusia dalam bentuk eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang tidak terbatas. Sehingga terjadi hubungan sebab akibat dalam bentuk kemiskinan dan kerusakan lingkungan serta kerusakan lingkungan yang berakibat pada kemiskinan.

Program pembangunan ekonomi yang digulirkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, masih belum menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting, sumberdaya alam dipaksa untuk memberikan pertumbuhan ekonomi hingga melampaui daya dukungnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan, adalah mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta mengedepankan keadilan sosial. Sehubungan dengan pokok pikiran tersebut, maka badan usaha baik milik negara (BUMN) maupun swasta nasional (PBSN) yang bergerak di sektor jasa maupun industri manufaktur, harus dilibatkan dalam proses pembangunan sosial untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar. Logika yang dibangun dalam hal ini adalah bahwa suatu industri untuk keberlanjutan usahanya tidak cukup hanya didukung oleh sumberdaya alam yang berlimpah serta teknologi sebagai penunjang. Lingkungan fisik tempat berusaha yang bebas dari bencana alam serta lingkungan sosial masyarakat yang sejahtera bebas dari kemiskinan sangat diperlukan dan sangat berpengaruh dalam menjamin kelangsungan hidup perusahaan.

III. Corporate Social Responsibility dan Dasar Hukumnya

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dan pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial budaya yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku. (Riyanto, 1999).

Menurut Hadi (2006) Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat dengan perusahaan yang disebabkan karena dominasi kekuatan, akan menimbulkan konflik yang tidak setara. Biasanya akan ditandai dengan keluhan masyarakat terhadap perusahaan dengan berbagai isu yang digulirkan seperti isu lingkungan, isu penyerobotan lahan, isu ketenagakerjaan dll. Sehingga bila tidak disikapi akan timbul kesalahan dalam pandangan masing-masing pihak, perusahaan menganggap bahwa masyarakat hanya mencari-cari perkara supaya memperoleh kompensasi, sementara sikap bertahan perusahaan akan dipandang sebagai sikap yang mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan masyarakat dan lingkungannya.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), mensyaratkan bahwa pemerataan adalah unsur penting dalam pembangunan. Dalam proses pembangunan lebih dari 30 tahun persentasi rakyat yang naik dari garis kemiskinan telah bertambah, tetapi jumlah absolut rakyat yang masih ada dibawah garis kemiskinan masih besar. Selain itu kesenjangan antara golongan yang kaya dengan yang miskin juga bertambah, oleh karean pertumbuhan ekonomi golongan kaya lebih cepat dari golongan miskin.

Menurut Soemarwoto (2004), di dalam ekologi terdapat hukum yang menyatakan apabilo dua ekosistem yang berbeda tingkat perkembangannya berhubungan satu sama lain, terjadilah tukar menukar materi, energi dan informasi antara keduanya. Tetapi arus tukar menukar materi, energi dan informasi itu asimetris, yaitu arus dari kosistem yang lebih berkembang ke yang kurang berkembang lebih kecil dari yang sebaliknya. Jadi yang lebih berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hubungan itu dibanding dengan ekosistem yang kurang berkembang. Dalam ekologi dikatakan bahwa ekosistem yang kurang berkembang dieksploitasi oleh yang lebih berkembang, karena sistem yang lebih berkembang dapat menguasai arus informasi, baik jenis, besar maupun waktunya. Dengan penguasaan arus informasi, ia juga akan menguasai arus materi dan energi.

Misalnya sebuah perusahaan (dianggap ekosistem yang lebih berkembang) akan membuka proyek perkebunan di Propinsi Riau. Proyek tersebut menciptakan peluang lapangan pekerjaan baru secara langsung yaitu untuk dipekerjakan di proyek, maupun tidak langsung melalui efek gandanya seperti warung dan transport. Tetapi penduduk lokal (diangap ekosistem yang kurang berkembang) tidak melihat atau tidak dapat menggunakan kesempatan itu karena tidak mempunyai keterampilan atau dan modal yang diperlukan. Dermikian juga efek ganda sebagian besar dimanfaatkan oleh para pendatang.

Sebaliknya resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal adalah besar antara lain hilangnya sumber mata pencaharian, ketegangan sosial dan pencemaran. Misalnya lahannya terkena proyek pembanguan perkebunan, maka dia akan kehilangan pekerjaan dan pendapatanya, sementara lahannya tidak mendapatkan ganti rugi yang memadai bahkan tidak dapat sama sekali. Dengan datangnya orang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, kenaikan kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan yang berbeda antara pendatang dan penduduk lokal, terjadilah ketegangan sosial. Konsentrasi buruh yang terpisah dari keluarganya sering menimbulkan masalah prostitusi dan perjudian, yang selanjutnya meningkatkan kriminalitas. Kepadatan penuduk yang tinggi tanpa disertai perbaikan ketersediaan air dan sarana sanitasi, meningkatkan terjadinya penyakit menular. Itulah resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal.

Masalah itu tidak dapat dibiarkan dan perlu diambil suatu tindakan. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan usahanya, perusahaan juga dituntut untuk memiliki tanggung jawab sosial dalam rangka secara bersama-sama ikut membangunan ekonomi masyarakat di sekitar tempat usahanya. Dengan tujuan kesejahteraan masyarakat disekitar perusahaan akan meningkat sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan perusahaan. Dampak ini semua akan menciptakan iklim yang cukup kondusif bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau dikenal dengan instilah Corporate Social Responsibility (CSR) dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.

Dalam Konsep CSR, sesungguhnya kepentingan perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi, yang berimplikasi pada keputusan bisnis dan kebijakan sosial perusahaan harus mengikuti prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.

Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang akan menjadi payung hukum mengatur pelaksanaan CSR oleh perusahaan a.l sbb.:
· Pasal 2 berbunyi, ”......... tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran......”
· Pasal 74 Ayat 1 menyatakan, bahwa ” ....... perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR....”

Sejalan dengan istilah tanggung jawab sosial perusahaan, maka Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan seluruh BUMN-BUMN menjalankan program pengembangan masyarakat yang setara dengan CSR dan lebih dikenal sebagai Community Development (CD), melalui SK Meneg BUMN Nomor : KEP-236/MBU/2003 tentang program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, serta Surat Edaran Menteri Negara BUMN nomor : SE-433/MBU/2003, tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

IV. Implementasi CD/CSR oleh Perusahaan

Pemahaman terhadap CD/CSR di kalangan perusahaan memang masih rendah. Bahkan, program CD/CSR seringkali disejajarkan dengan hubungan masyarakat (humas). CD secara fungsional lebih kepada bagaimana membina lingkungan sekitarnya dengan program yang dibuat, sehingga tercipta hubungan harmonis dan saling memahami baik masyarakat terhadap keberadaan perusahaan, maupun sebaliknya. Sedangkan humas lebih menitikberatkan kepada bagaimana membina hubungan baik semata dengan pihak lain.

Bagi perusahaan BUMN, tanggung jawab sosial perusahaan diwujudkan dalam bentuk bina lingkungan/CD yang sudah diatur melalui Keputusan Menteri BUMN No. Kep 236/MBU/2003 yakni "BUMN wajib melaksanakan program kemitraan BUMN dengan Usaha Skala Kecil dan program bina lingkungan". Tujuan utama program CD itu yakni partisipasi BUMN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan, pemerataan pembangunan, dan perluasan lapangan kerja serta pemberdayaan masyarakat meningkat.
Masih kurangnya pemahaman perusahaan baik BUMN maupun swasta terhadap CD, serta di kalangan pemerintah, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah (otda), mengakibatkan pemerintah daerah seringkali berusaha agar dana CD dimasukkan dalam APBD untuk dikelola oleh pemda.

Dalam penerapan program Community Development (CD), secara moral, perusahaan mewujudkan eksistensinya membina lingkungan tidak hanya melalui keputusan teknis saja, akan tetapi juga melalui berbagai pendekatan, baik pendekatan sosial, psikologis, budaya, serta keagamaan, sehingga akan tercermin bahwa keberadaan perusahaan telah membawa perbaikan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Penerapan CSR di lingkungan BUMN dalam bentuk Program Bina Lingkungan (PKBL) atau Community Development (CD) bersifat wajib (mandatory), dengan besarnya dana yang dialokasikan adalah berkisar antar 1 - 4 % dari keuntungan bersih perusahaan. Kegiatan program Community Development (CD) oleh bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan tidak dilakukan sendiri oleh perusahaan, akan tetapi melibatkan dinas terkait.

Di sisi lain penerapan CSR oleh perusahaan swasta masih bersifat sukarela (voluntary), sehingga wajar bila penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masing-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, kontribusi dunia usaha diharapkan terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jenis bantuan yang diberikan bukan dari jumlah atau besarnya nilai, melainkan dari segi keefektifan serta kualitas dan pendekatan yang humanis agar semua bantuan memberikan manfaat bagi masyarakat penerima bantuan. Pemberian langsung dana bantuan CD oleh perusahaan dapat dilaksanakan dalam bentuk pembangunan prasarana dan sarana umum, bantuan sarana ibadah, peningkatan kesehatan masyarakat, bantuan pendidikan masyarakat dalam bentuk pemberian beasiswa dan mengangkat anak asuh, pelestarian seni budaya setempat, kegiatan olahraga, dan bantuan pengingkatan keamanan lingkungan.

Kombinasi pemberian bantuan langsung dalam bentuk modal kerja serta bantuan tidak langsung kepada masyarakat di sekitar lokasi perusahaan dapat diwujudkan dalam bentuk pelatihan secara berkesinambungan, dalam bentuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam yang ada serta potensi masyarakat itu sendiri.


BAHAN BACAAN


Anonim. 2005. Di Kalangan Birokrat Maupun Pimpinan Perusahaan Rendah, Pemahaman Bina Lingkungan, Harian Umum Pikiran Rakyat (Senin 9 Mei 2005)

Azhar. 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. Universitas Sriwijaya,Palembang.
Daniri Mas Achmad, Ketua National Mirror Committee on Social Responsibility & Maria Dian Nurani Anggota National Mirror Committee Social Responsibility. http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/1id15040.html

Hadi, Suharto P. 2006. Resolusi Konflik Lingkungan, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Mudrajad, K. 2007. Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?, Sumber: Seputar Indonesia, http://www.seputar-.com/edisicetak/periskop/visi- Indonesia, -2030-quo-vadis-3.html, Sabtu, 18/08/2007

Riyanto, Eggi Sudjan. 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektif Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara dari Bogor, Membangun Sistem Agribisnis. Penrbit Yayasan USESE bekerjasama dengan Sucofindo, Jakarta.

Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Eskploitasi Hutan dan Bencana lLngkungan

PEMBANGUNAN, EKSPLOITASI HUTAN DAN BENCANA LINGKUNGAN
DI PROPINSI RIAU
Oleh : Santobri *)

PENDAHULUAN

Makna hakiki dari pembangunan adalah menjadikan lebih baik. Pembangunan telah berkembang jauh dari hanya sekedar konsep namun telah menjadi visi, teori dan juga proses. Dikenal ada dua model utama pembangunan yaitu model kapitalis dan model sosialis. Kaum developmentalis yakni bahwa negara maju yang kapitalis adalah bentuk ideal dari sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Pembangunan ekonomi merupakan syarat bagi demokrasi. Industrialisasi akan melahirkan kekayaan dan kesenangan, maka kemudian orang akan mau berpartisipasi dalam politik, dan ujungnya kebebasan melahirkan demokrasi. Pembangunan bermakna sebagai industrialisasi, yaitu pergeseran aktivitas produksi dari semula dominan di bidang pertanian dan produksi barang mentah, ke aktivitas industri (Syahyuti, 2006)

Dalam penerapannya konsep di atas belum sepenuhnya berjalan. Banyak pihak sepakat bahwa permaslahan utama kegagalan teori pembanguan adalah karena ideologi pembangunan yang kita anut bersifat ideologi pembangunan kapitalis barat yang sempit. Di sini pembangunan dimaknai sebagai perkembangan ekonomi saja, yaitu produksi barang dan jasa dari masyarakat, dengan indikator pendapatan, GNP, GDP dll. Seluruh indikator ini seharusnya baru merupakan bagian, belum menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mewujudkan pembangunan sejati.
[1]
Pembangunan juga bagaikan dua mata pedang, dimana pembanguan itu dibutuhkan untuk kesejahteran manusia di sisi lain pembangunan bisa berdampak negatif terhadap lingkungan, yang ujung-ujungnya juga mengancam terhadap kesejahteraan manusia itu sendiri.
Pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan dampaknya dapat dirasakan di propinsi Riau saat ini. Berbagai kegiatan pembangunan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi seperti pembangunan industri perkebunan dan hutan tanaman industri yang telah mengkonversi hutan alam berdampak sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang konon pertumbuhan ekonomi di Propinsi Riau mencapai 8 % di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 6 %. Namun dibalik itu semua juga telah meluluh lantakan hutan alam Riau yang selanjutnya menimbulkan berbagai bencana alam maupun bencana kemanusiaan sebagai mana diuraikan di bawah ini.


KONSERVASI HUTAN ALAM MENJADI TANAMAN MONOKULTUR

Kejadian memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi hutan secara masif sejak tahun 1980-an. Setelah ratusan ribu hektar hutan dilepaskan kepada pengusaha HPH, pemerintah kemudian melakukan politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha sawit dan HTI.

Pada saat yang bersamaan, akhir tahun 90-an kebutuhan dunia akan CPO (minyak sawit) semakin meningkat, ditambah ambisi dua industri pulp dan paper menjadi eksportir kertas terbesar dunia plus keinginan Pemerintah Daerah untuk memperluas perkebunan kelapa sawit menjadi 2,5 juta hektar yang ditargetkan, terjadilah simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha yang pada akhirnya meluluh lantakan tutupan hutan alam Riau.

Pengembangan dan perluasan kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri, membuat sebagian orang menangguk rezeki sekaligus menyisakan nestapa bagi sebahagian yang lain. Selain ”penyerobotan tanah” oleh perusahaan, persoalan lain adalah rusaknya lingkungan. Perkebunan kelapa sawit maupun HTI seringkali memasuki wialayh teritorial masyarakat sehingga menimbulkan konflik yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Konflik tersebut tidak jarang melibatkan satuan pengamanan swasta dan atau kepolisian untuk melakukan penyelesaian yang seringkali berakhir dengan korban jiwa. Di masa lalu, keterlibatan militer sebagai tenaga pengamanan juga tidak terlepas dari sektor ini.

Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau pada dasarnya telah mencapai titk jenuh dan melebihi carriying capacity. Dikatakan jenuh karena industri ini telah memasuki kawasan dengan tingkat kerentanan ekologis yang tinggi. Disamping memasuki kawasan-kawasan produktif masyarakat, perkebunan kelapa sawit juga memasuki kawasan gambut.

Menurut Andiko (2006), kondisi seperti di atas adalah akibat dari suatu kebijakan yang berpihak pada pembangunan perkebunan skala besar, dimana hukum dan peraturan dibuat untuk mendorong pembangunan perkebunan. Walaupun dibuat untuk memastikan keamanan investasi, perencanaan yang terkoordinasi, kepentingan umum dan penyelesaian konflik tumpang tindih hak, namun hukum dan peraturan tersebut sedikit sekali memuat ketentuan pengukuhan status hak terhadap hak-hak dan kepentingan komunitas. Seringkali hukum memperlakukan apa yang ada kenyataannya adalah tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai tanah negara.












KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Didasarkan pada kebutuhan dunia, ambisi pemerintah, dan nafsu pengusaha untuk memperoleh keuntungan dengan biaya murah, maka pembersihan lahan dengan pembakaran pun dipraktekan. Sayangnya praktek pembukan lahan dengan biaya murah tersebut tidak mempertimbangkan kerugian yang tercipta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2003 saja WALHI Riau mencatat hanya dalam waktu sepuluh hari (2-12 Juni 2003) adalah lebih dari 2400 titik api tersebar di 57 perusahaan perkebunan dan HTI dengan luasan yang lebih dari 50 ribu hektar. Total kerugian langsung mencapai 19 milyaran rupiah lebih, tidak termasuk variabel transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan panen dan peningkatan penderita ISPA akibat asap.

Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian akibat terjadinya erosi karena tanah 20-30 kali lebih peka dibanding dengan daerah hutan yang tidak terbakar, terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan hilangnya berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna di lantai hutan, mempercepat penghilangan biomasa lantai hutan, mempercepat pencucian hara tanah, terjadinya banjir dan pulisi udara dan air.

Asap adalah ritual tahuan bencana di Riau. Menjadi ritual karena terjadi setiap musim tanam dan musim kering. Menjadi ritual karena hampir seluruh pihak di Riau mengganggapnya sebagai suatu hal yang lumrah dan menajdi bagian dari ritme kehidupan yang harus dilalui. Padahal lagi, asap yang ditimbulkan dari kebakaran/pembakaran lahan telah menimbulkan kerugian milaran rupiah setiap tahunnya. Yang lebih aneh, sejak dinobatkan menjadi propinsi penghasil asap terbesar di Indonesia, upaya pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi ini tidak memperlihatkan kemajuan yang berarti. Selalu saja bergelut dengan permasalahan klasik, seperti kekurangan dana dan peralatan.

Sejumlah dampak tersebut di atas tentunya harus menjadi perhatian agar nominal kerugian yang tercipta tidak terus membesar. Namun lagi-lagi ada kelemahan mendasar yaitu lemahnya penegakan hukum. Walaupun sudah ada bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan LC yang dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, namun pemerintah tidak melakukan apa-apa. Kata-kata ditindak tegas hanya sekedar lips service tanpa pernah ada tindak lanjutnya.

Yang terlihat selama ini adalah pemerintah baru sibuk ketika kebakaran telah terjadi. Itu pun setelah menuai protes dari negara tetangga, sehingga terkesan langkah-langkah yang diambil hanya untuk menyenangkan hati negara tetangga walaupun jelas-jelas pelaku pembakaran tersebut justru perusahaan negara tetangga itu pula.


ILLEGAL LOGGING

Secara faktual, penebangan liar pasti diketahui masyarakat luas dan oknum petugas keamanan, karena pola, struktur dan lintasannya relatif sama. Kalau ada argumen pemerintah atau petugas keamanan tidak mengetahui, rasanya sangat sulit untuk dipahami.

Akar masalah illegal logging menurut Smith et al (2003) dalam Irianto (2006) terjadi karena korupsi sistematis yang kolutif, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menyebar, persisten, mangakar, manahun dan sulit diberantas karena hampir semua lini menikmati dan memperoleh manfaat hasil jarahan. Perdagangan global kayu illegal menjadi multimillion trade sehinga banyak pihak mengais bisnis rejeki haram yang sebenarnya merupakan kejahatan kriminal terhadap hutan (forest crime). Pemerintah yang fragmented pasca kejatuhan rezim Orde Baru memperburuk keadaan karena setiap elite politik dan penguasa ekonomi mencari sumber-sumber pendanaan untuk merebut kekuasaan yang lebih besar dan hutan menjadi salah satu sumber dana potensial rebutan elite politik dan ekonomi.

Menurut berita diberbagai media massa baik lokal maupun nasional, banyak pejabat pemerintah di Propinsi Riau yang tersangkut hukum berkenaan dengan masalah illegal logging. Mereka menggunakan pengaruh dan dananya untuk memanipulasi kebijakan dengan menafaatkan kekacauan pemerintah untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Pengusaha hutan yang oportunis merasa diuntungkan dalam jangka pendek dengan murahnya biaya produksi dan proses administrasinya sederhana sehingga secara bisnis menjadi sangat menguntungkan meskipun dalam jangka panjang menghancurkan recovery hutan alam, keragaman hayati, dan keberlanjutan usaha perkayuan itu sendiri. Dampak sosial yang sangat mengerikan dan sering kali muncul akibat illegal loging adalah intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal oleh oknum aparat.

Dampak lanjutan dari illegal logging adalah terjadinya banjir dan kekeringan dimana-mana, kapan saja. Diperkirakan hampir semua badan sungai yang ada di Propinsi Riau terancam mengalami pendangkalan. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota umumnya kurang peduli karena tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) dan justru sebaliknya.

Padahal di negara-negara maju seperti Prancis, Thailand, Cina dan Australias, tubuh air selalu dilindungi hutan alam dan buatan yang bagus sehingga selain dapat menghasilkan air juga dapat digunakan untuk pariwisata, listrik, perikanan darat.

UPAYA APA YANG HARUS DILAKUKAN

Memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas dapat disusun suatu rekomendasi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Riau yang berkelanjutan yakni melalui:
Kebijakan tentang manajemen tata ruang wilayah yang berkelanjutan
Fungsi pengawasan dan pengendalian harus dilaksanakan secara partisipatif diantara semua stakeholders termasuk masyarakat.
Dalam melaksanakan pembangunan secara umum harus tetap konsisten dan konsekuen terhadap konsep 8 jalur pemeratan yang jadi model pembangunan di Indonesia yaitu (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan (3) pembagian pendapatan (4) kesempatan kerja (5) kesempatan berusaha (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita (7) penyebaran pembangunan dan (8) kesempatan memperoleh keadilan.

Selanjutnya perlu dikembangkan pembangunan berdimensi kemanusiaan atau pembangunan berdimensi kerakyatan sebagai antitesis dari konsep dan teori pembangunan yang berorientasi produksi, dan menganut paham modernisasi dan industrialisasi. Konsep pembangunan berdimensi kerakyatan adalah merumuskan kebijakan pembangunannya dengan menjadikan rakyatnya sebagai pertimbangan utama.

Pemberdayaan publik dalam akses, kontrol, dan partisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan strategi dan pendekatan yang perlu diintensifkan dalam mengatasi penebangan liar akibat korupsi yang kolutif. Selain murah dan mudah, pengawasan masyarakat akan menjadikan hutan sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan ekploitasi hutan dan bencana lingkungan berkenaan dengan pencegahan, penanggulangan dan pemantauan dan rehabilitasi, yakni :
- Stop konversi lahan
- Melarang dengan tegas metode bakar dalam pembukan lahan
- Memberlakukan hukuman bagi penjahat lingkungan secara proporsional, dengan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak yang ditimbulkannya
- Mengembalikan fungsi kawasan sesuai RTRW.
- Penguatan LSM dan Media
- Mengembangkan program pemulihan hutan melalui pemberdayaan publik

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksploitasi sumberdaya alam berupa hutan dan lahan yang tidak dilakukan secara bijaksana, akan menimbulkan berbagai bencana, yang akhirnya menyulitkan kehidupan manusia itu sendiri. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri memang menciptakan sejumlah pekerjaan dan mendorong pertambahan pendapatan ekspor, akan tetapi juga dapat menjebak komunitas masyarakat untuk masuk dalam kemiskinaan dan bencana ekologi

Ekosistem yang tidak dikelola dengan baik akan membahayakan manusia karena mempertinggi resiko terjadinya banjir, kekeringan, kegagalan panen pertanian ataupun penyakit. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam yang terjadi secara akumilatif dan terus-menerus.
Degradasi ekosistem cenderung merugikan masyarakat pedesaan dibandingkan dengan masyarakat perkotaan dan lebih lanjut lagi dampaknya dirasakan oleh masyarakat miskin.

Pembangunan harus memperhatikan unsur berkelanjutan, dengan memperhatikan konsep 8 jalur pemerataan dan kosep pembangunan berbasis kerakyatan.











BAHAN BACAAN

Andiko. 2006. Catatan Perjalanan : Ketika Badai Sawit Mempertemukan; Catatan Si Perawa terhadap Buku Tanah yang Menjanjikan (Promise Land). http://my.opera.com/andikonsultanmancayo/archive/monthly/?month=200612. Tanggal berkunjung 30 Agustus 2007.
Atmakusumah, M. Iskadar & Warief D Basorie. 1996. Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Irianto, Gatot. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Penerbit Papas Sinar Sinanti. Jakarta.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara Dari Bogor, Membangun Sistem Aghribisnis. Penerbit Yayasan USESE bekerjasama dengan Sucofindo, Jakarta.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penerbit PT Bina Rena Pariwara. Jakarta.Wilches, G & InterWorks. 1995. Bencana dan Lingkungan Edisi ke 2. Program Pelatihan Bencana. UNDP-DHA.
[1] Mahasiswa SM I Tahun 2007/2008, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, UNRI

Jumat, 08 Agustus 2008

Pengelolaan janjang kosong kelapa sawit

7 Agustus 2008

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN JANJANG KOSONG KELAPA SAWIT
Oleh : Santobri
Dept Riset PT Sarana Inti Pratama
Jl Riau Ujung No 5 Pekanbaru - Riau

Pendahuluan

Janjang kosong kelapa sawit (JJK) merupakan hasil samping dari pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi CPO di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Setiap ton TBS diolah dihasilkan JJK antar 190 – 240 kg atau 19 – 24 % dari TBS diolah. Karena produksi harian JJK dari suatu PKS cukup banyak maka perlu dikelola dengan baik dan tepat agar tidak menimbulkan masalah baik terhadap operasional PKS maupun terhadap lingkungan.

Ada beberapa cara pengelolaan JJK yang umum dilakukan oleh perusahaan perkebunan, yaitu :
Diaplikasi ke areal tanaman kelapa sawit dalam bentuk JJK segar
Dijadikan Kompos
Diabukan dengan cara dibakar di tungku bakar (incinerator)
dijual ke pihak ke tiga dalam bentuk JJK segar

Aplikasi JJK Segar ke Pertanaman Kelapa Sawit

Aplikasi JJK segar ke areal tanaman kelapa sawit dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara mekanis, manual dan kombinasi mekanis dan manual.

Aplikasi JJK secara mekanis dilakukan dengan alat Empty Bunch Spreader (EBS). Aplikasi model dilakukan di gawangan panen. Peralatan yang dieprlukan adal;ah unit EBS, Traktor, alat muat JJK khusus (exavator atau loader), tenaga operator dan tenaga bantu iperator. ( satu alat EBS dibutuhkan satu orang operator dan satu orang kenek). Aplikasi secara mekanis memerlukan areal yang bisa dilalui oleh EBS, baik ditinjau dari kemiringan lereng, drainase, maupun kebersihan ancak (terutama gawangan panen harus bebas dari tunggul).:

Aplikasi JJK secara manual yaitu mengapliaksi JJK ke pertanaman kelapa sawit dengan tenaga manusia. Aplikasi model ini adalah JJK dibawa dari PKS menggunakan dump truk atau trailer dan dituang di pinggir jalan blok (collection road). Selanjutnya JJK di ecer ke dalam blok dengan tenaga manusia. Peralatan yang digunakan biasanya adalah kereta sorong (angkong). JJK diletakan di antara pokok membentuk empat persegi panjang, atau bisa juga diletakan melingkar di luar piringan dengan jumlah/dosis perpokok sesuai anjuran. Peralatan yang diperlukan adalah unit kendaraan (dump truk/trailer), alat muat JJK di PKS (exavator, loader) atau hopper, angkong, gancu dan tenaga pengecer (16 – 18 HK/Ha).

Aplikasi kombinasi mekanis dan manual yaitu kendaraan pengangkut JJK (dump truk atau trailer) masuk ke dalam blok dan menuangkan JJK pada titik-titik pokok yang sudah ditentukan. Selanjutnya JJK didistribusikan dengan tenaga manusia, biasanya JJK diletakan di gawangan mati dalam jumlah tertentu di mana setiap titik aplikasi untuk 4 pokok. Model aplikasi ini memerlukan areal yang bisa dilalui kendaraan sampai ke dalam blok. Peralatan yang digunakan adalah unit kendaraan dump truk atau trailer, alat muat JJK di PKS (loader, exavator) atau hopper, angkong, gancu dan tenaga pengecer (8 – 12 HK/ha).

Masalah yang sering timbul dari model aplikasi manual dan kombinasi mekanis-manual diantaranya adalah seringnya restan JJK di PKS maupun di lapangan dalam jumlah banyak. Tingginya restan JJK di PKS biasanya disebabkan oleh tidak adanya alat muat yang khusus atau kalau pun ada dalam posisi rusak, hopper rusak, armada pengangkut kurang dan faktor cuaca (hujan). Sedangkan tingginya restan JJK di lapangan (blok) disebabkan oleh kurangnya tenaga aplikasi, tidak memiliki tim khusus, pengiriman JJK berlebih, ancak tidak ideal, prestasi aplikasi rndah dan faktor cuaca (hujan).

Masalah lainnya dari aplikasi JJK secara manual adalah kualitas aplikasi tidak seragam dan sering dijumpai JJK dibuang disembarang tempat. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman pengemudi angkutan terhadap pentingnya JJK, kondisi jalan ke blok aplikasi tidak bisa dilalui, tidak memiliki mandor transport khusus JJK yang mengarahkan pengangkutan.

Restan JJK yang menggunung di lokasi PKS dalam waktu lama berdampak buruk pada lingkungan yaitu timbulnya lindi atau air rembesan dari tumpukan janjang kosong terutama pda sat musim hujan yang akan mencemari air permukaan, rawan kebakaran, dan mengganggu operasional PKS.


JJK Diabukan di Incinerator

Pengelolaan JJK dengan cara dibakar di incinerator merupakan pengelolaan yang kurang populer untuk saat ini, karena menimbulkan emisi gas buang yang dapat mencemari udara. Hal ini kurang sejalan dengan program langit biru yang telah dicanangkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-15/MENLH/4/1996. Program Langit Biru ini adalah suatu program pengendalian pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak maupun sumber tidak brgerak. Tujuannya adalah terkendalinya pencemaran udara agar tercipta kualitas udara ambien yang diperlukan untuk kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya.

Walaupun demikian tidak ada larangan untuk melakukan pembakaran JJK di incineraor. Prinsipnya sama dengan boiler yang mengunakan bahan bakar serat dan cangkang. Yang diatur adalah emisi gas buangnya tidak boleh melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Baku mutu emisi gas buang dari sumber tidak bergerak bagi ketel uap dan lebih spesifik lagi yang menggunakan bahan bakar biomassa berupa serabut dan cangkang diataru dalam PerMen LH Nomor 07 Tahun 2007 Lampiran I.

Apa bila ingin melakukan pengelolaan JJK dengan cara diabukan diincinerator maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu Incinerator harus dilengkapi dengan alat penangkap debu atau Dust Collector, agar emisi gas buang terutama partikulatnya tidak melebihi baku mutu. Incinerator harus dilengkapai dengan lubang sampling dan tangga sampling untuk memantau emisinya seperti pada Gambar 1. Melakukan pemantauan emisi gas buang dari incinerator sekikitnya 6 bulan satu kali, dan hasilnya dilaporkan ke instansi yang berwenang (BAPEDAL).

Pengelolaan selanjutnya adalah terhadap abu janjang. Abu janjang dapat digunakan sebagai pupuk penganti MOP. Abu janjang bisa digunakan untuk kalangan sendiri maupun dijual ke pihak ke tiga atau masyarakat.

Karena abu janjang bersifat higroskofis dan pH tinggi (bersifat korosif), maka perlu penanganan yang baik yaitu :
Abu janjang selama di PKS maupun di gudang harus selalu kering
Sebelum dikemas abu janjang harus disaring terlebih dahulu untuk memisahkan arang/bonggol JJK maupun kerak abu yang kasar.
Pada saat aplikasi, karyawan penabur harus dilengkapi dengan masker dan sarung tangan untuk mencegah eefek buruk dari abu janjang
Penaburan abu janjang diutamakan ke lahan gambut yang memiliki nilai pH rendah, dan ditabur diluar piringan untuk menghindari kontak langsung dengan pupuk N.



JJK Dijual ke Pihak ke Tiga

Dewasa ini banyak PKS-PKS yang tidak punya kebun maupun yang punya kebun menjual JJK ke pihak ke tiga baik ke perorangan dalam partai kecil (cash and carry) maupun dalam bentuk kontrak. JJK tersebut oleh masyarakat kebanyakan untuk digunakan untuk pupuk pada tanaman kelapa sawit mereka. Masyarakat sudah mengetahui kalau JJK bisa menggantikan pupuk anorganik. Pada saat harga pupuk anorganik melambung tinggi dan susah didapat di pasaran, masyarakat membeli JJK sebagai pengganti pupuk anorganik. Sebagai contoh hal ini terjadi di daerah Bagan Batu – Riau. Penjualan JJK dalam bentuk kontrak kerjasama dengan pihak ke tiga juga dilakukan oleh salah satu PKS di Kabupaten Muara Enim – Sumatera Selatan.
Pengelolaan JJK dengan cara di dijual ke pihak ketiga memang tidak bisa sepenuhnya diandalkan, karena kontinuitas dari sistem pengangkutan yang tidak menjamin. Namun demikian hal ini mengingatkan kepada kita betapa banyak orang di luar perusahaan yang membutuhkan JJK untuk keperluan pemupukan di lahan kelapa sawitnya.

Jumat, 13 Juni 2008

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 4/4)

Judul : Dampak Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budi Daya Kelapa Sawit Terhadap Degradasi Lingkungan Dan Upaya Penaggulangannya
Oleh : Santobri
Mhs SM II Pascasarjana - Program Studi Ilmu Lingkungan
Universitas Riau - Pekanbaru

IV. KEBIJAKAN DAN SOLUSI PERMASALAHAN

Berbagai perkembangan kegiatan perekonomian baik bertaraf lokal, regional, maupun nasional akan menyebabkan keberadaan potensi sumberdaya alami terutama di kawasan lahan basah semakin terancam klestariannya. Mulai tampak berkurangnya luasan alami kawasan lahan basah , dan secara langsung maupun tidak langsung menurunkan mutu dan fungsi ekologis dari sumberdaya alami setempat. Pemanfaatan yang sudah berlangsung ternyata berpengaruh besar terahadap penyusutan mutu dan keberadaan sumberdaya keanekaragaman hayati. Kecenderungan pemanfaatan yang ada menujukkan bahwa masih banyak pihak yang berkepentingan terhadap daerah itu masih perlu diberkali pengetahuan tentang strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Untuk meminimalkan dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan, maka perlu suatu strategi atau upaya pengelolaan yang baik dan benar yang memenuhi kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut yang sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan gambut.

Sebenarnya, apabila hutan rawa gambut diperlakukan secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya, maka hasil yang diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dapat dijumpai di beberapa tempat di Pantai Timur Sumatera, khususnya di Jambi dan Riau, merupakan salah satu bukti tentang keberhasilan dalam mengelola gambut Indonesia, walaupun masih ada dibeberapa tempat yang belum berhasil dengan baik.

Pembelajaran yang diperoleh dari sini adalah bahwa pengelolaan lahan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan gambut, kubah gambut sama sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada lahan gambut harus diatur dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan muka air, termasuk muka air tanah yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran tanaman.

Berdasar sifat inheren bahan gambut dan hasil pembelajaran dalam pengelolaan lahan gambut, maka pengembangan lahan gambut Indonesia ke depan dituntut menerapkan beberapa kunci pokok pengelolaan yang meliputi aspek legal yang mendukung pengelolaan lahan gambut; penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah fungsional ekosistem gambut; pengelolaan air; pendekatan pengembagan berdasarkan karakteristik bahan tanah mineral di bawah lapisan gambut; peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut dan pengembangan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.

Secara khusus hal-hal yang harus diperhatikan untuk menahan laju degradasi lahan gambut pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah memembuat suatu sistem tata air (water management system) yang betul-betul terencana dengan baik sehinga dapat memperhatikan tinggi muka air yang sesuai. Secara umum tinggi muka air tanah gambut pada lahan kelapa sawit adalah 60 cm di bawah permukan tanah. Dengan kedalaman muka air tanah 60 cm, diharapkan kelembaban tanah di bagian atasnya akan tetap terjaga (terhindar dari kekeringan) dan dilain pihak perakaran tanaman tidak tergenang.

Pengaturan tinggi muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu-pintu pengatur air pada kanal-kanal drainase dan memonitornya setiap saat sebagai upaya mengantisipasi kelebihan air yang mengakibatkan areal tergenang ataupun kekurangan air yang mengakibatkan kekeringan.

Untuk mempertahankan keanekaragaman hayati makan lahan-lahan yang menjadi kawasan lindung harus tetap dipertahankan, Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tentang keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi atau high covservation value (HCV) selajutnya melakukan pembatasan-pembatasan dan upaya pengelolaannya. Penentuan kawasan lindung gambut sudah diatur oleh pemerintah dalam bentuk Keppres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung..


Cara lain untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan menerbitkan serta menegakan hukum yang mengatur penggunaan lahan. Peraturan mengenai tta guna lahan berupa pembatasan luas serta akses dan pemanfaatan lahan, maupun pencegahan dan pengendalian populasi. Sebagai contoh, akses bagi kendaraan dan pejalan kaki mungkin perlu dibatasi pada wilayah yang rawan terhadap kerusakan, seperti lokasi burung bersarang, tanah bergambut dalam, sumber air minum dll yang sifatnya dilindungi (Indrawan et all., 2007).

Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai perangkat dalam upaya mencegah penggunaan lahan gambut yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan, yaitu berupa Kepmen LH No. 5 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah. Dalam panduan tersebut sudah sangat jelas apa-apa yang harus dianalisis untuk mendapatkan apa-apa yang boleh dilakukan dan apa-apan yang tidak boleh dilakukan dalam upaya pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan.

Upaya untuk mencegah kebakaran lahan gambut adalah dengan tidak membuka lahan dengan cara bakar, tidak melakukan drainase yang berlebihan, membuat menara pemantau api, membuat regu pemadam yang dilengkapi dengan peralatannya dll, yang sifatnya mudah dilakukan di lapangan.
Upaya pemanfaataan lahan gambut seyogyanya melibatkan unsur masyarakat tempatan, baik langsung maupun tidak langsuh dalam kegiatan usahanya, dan selau memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

V. KESIMPULAN

Lahan gambut sebagai sumberdaya dalam tiga dekade terakhir telah dimanfaatkan untuk kepentingan berbagai sektor seperti sektor pertanian dalam arti luas yaitu sektot perkebunan, kehutanan dan ranaman pangan. Perkebunan kelapa sawit merupakan subsektor pertanian yang sudah banyak memanfaatkan lahan gambut.

Pekebunan kelapa sawit di lahan gambut memberikan hasil yang baik dimana produksinya tidak kalah dengan yang diusahakan di lahan mineral yaitu sekitar 22 – 28 ton TBS/ha./tahun.

Lahan gambut merupakan lahan marginal yang rapuh dan rentan terhadap kerusakan, oleh karena itu perlu suatu pengelolaan dengan prinsip kehait-hatian Hal-hal yang rentan tersebut adalah subsidensi gambut, pengeringan gambut (sifat irreversible), hilangnya fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi kawasan, terjadinya kebakaran lahan, emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menekan laju degradasi lingkungan lahan gambut di areal yang diusahakan adalah dengan mengatur tata air (water management system), dengan tetap mempertahankan tingi muka air pada kedalaman 60 cm di bawah permukaan tanah.
Lahan gambut sebagai fungsi lindung harus tetap dipertahankan dengan tidak memanfaatkannya secara serakah. Lahan gambut sebagai sebuah sumberdaya dalam pemanfaatanya harus dikelola sesuai dengan kemapuan dan kodrat alamiahnya yang dalam prakteknya dituangkan dalam studi analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Kamis, 12 Juni 2008

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 3/4)

III. PEMBAHASAN
Santobri...... Pekanbaru
3.1. Pemanfaatan Lahan Gambut sebagai Sumber Daya

Gambut sebagai sumer daya sudah diperhatikan dan telah menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional sejak pemerintah mengembangkan daerah pasang surut sebagai tujuan pembangunan trnasmigrasi pada awal Pelita I. Seminar-seminar pengembangan wilayah pasang surut yang diselengarakan era tahun 70-an mulai menaruh perhatian pada problema-problema yang dihadapi apda pengembangan transmigran di daerah gambut. Kemudaian setelah memalui berbagai proses akhirnya pada tahun 1991 dibangun suatu Pusat Riset Gambut Tropika di Potianak, kerjasama antara BPPT dengan Pemda Tk I Kalimantan Barat. Tujuan puast Riset tersebut adalah membangun suatu sarana pemanfaatan gambut dan lahan gambut secara optimal dalam suatu kerangka menunjang pembangunan nasional berkelanjutan (Setiadi, 1993).

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Seperti di beberapa daerah di Riau yang sejak era tahun 1990 sudah memanfaatkan lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit. Sayangnya data luasan lahan gambut yang diusahakan untuk perkebunan kelapa sawit tidak tersedia, tetapi berdasarkan pengamatan kami diperkirakan sudah ratusan ribu hektar, baik yang diusahakan oleh perusahaan besar maupun oleh perorangan.

Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan yang di tanah mineral, seperti dilaporkan Lim (2005) dalam Lim (2006) yang melakukan penelitiannya di Riau, pada tanaman umur 7 tahun (tahun tanam 1998) dengan mempertahankan kedalaman tinggi muka air 50 -75 cm dari muka tanah menghasilkan tandan buah segar (TBS) 28.4 ton/ha/tahun dibandingkan 22 ton/ha/tahun pada lahan yang kedalaman muka airnya pada level 100 cm dari permukaan tanah.
Suandi dan Chan (1989) melaporkan bahwa produksi kalapa sawit pada tanah gambut di kebun Ajamu Labuhan Batu Sumatera Utara (PT.Perkebunan VI) mencapai 22 – 27 ton/ha/tahun. Selanjutnya Gurmith, et al.., (1987) dalam Chan dan Lubis (1989). melaporkan bahwa produksi kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 popok per hektar pada tahun ke delapan panen adalah 24 ton/ha/tahun sedangkan pada umur panen 5 – 8 tahun menghasilkan TBS mencapai 26,4 ton/ha.

Tingkat keberhasilan dari budidaya kelaap sawit di lahan gambut merupakan upaya yang terintegrasi dari berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman dengan menggunakan bibit yang unggul dan sesuai, pemeliharaana tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman, manajemen pengelolaan drainase dll. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan lahan yang rapuh atau marginal sehingga apabila salah dalam mengelolanya akan berdampak pada kerusakan fungsi gambut itu sendiri. Apabila kondisinya sudah rusak maka akan sulit untuk memperbaikinya.

3.2. Dampak Pembangunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut

3.2.1. Dampak terhadap Lingkungan

Secara kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan hasil dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan berbeda ketika dilakukan di lahan gambut, dibandingkan dengan pada lahan mineral, mengingat lahan gambut merupakan lahan yang unik dan rentan terhadap kerusakan.

Hal-hal yang mempengaruhi tingkat kerusakan lahan gambut diantaranya adalah
Pembukaan lahan
Pembuatan parit/kanal drainase yang berlebih.
Kebakaran lahan
Memanfaatkan lahan gambut yang mempunyai kedalamn > 3 meter yang merupakan kawasan hutan lindung gambut yang diatur oleh Kepres no 32 tahun 1990.
Lingkungan yang akan terkena dampak meliputi :
Sifat fisik dan kimia tanah
Keanekaragaman hayati/ vegetasi alam (flora dan fauna)
Sistem hidrologi (fungsi pemasuk air, pengendali air/banjir, pencegah intrusi air laut).
Emisi gas rumah kaca

Pembukaan Lahan

Dampak pembangunan kelapa sawit yang cukup besar terhadap lingkungan diantaranya adalah lenyapnya vegetasi alam serta flora dan fauna yang unik dan akan menjadi sangat berbahaya apabila mengalami kepunahan yang total pada sebagian besar kawasan di Indonesia.

Pembukaan lahan gambut akan menghilangkan fungsi hutan gambut sebagai pemasok baha-bahan yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan dan daging satwa, rotan, getah dan tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh masyarakt lokal. Pembukaan lahan gambut juga akan menurunkan fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, satwa langka dan tumbuhan penting, komunitas dan ekosistem.

Pembuatan Kanal Drainase

Pembuatan kanalo drainae bertujuan unutk menurunkan muka air tanah dan mengatur tata air sehingga lahan tidak tergenang tetapi juga tidak kering. Akan tetapi pembuatan parit atau kanal merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut. Berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh adanya drainase yang berlebih sehingga berdampak pada pengeringan gambut.

Seperti diketahui bahwa tanah gambut bersifat irreversible dimana apabila mengalami pengeringan yang berlanjut akan mengakibatkan gambut tidak punya kemampuan lagi dalam mengikat air. Atau gambut tidak punya kemampuan lagi sebagai penyimpan air pada saat musim hujan dan melepasnya pelan pada musim kemarau. Pembukaan kanal-kanal drainase akan mengurangi fungsi lahan gambut sebagai pengendali higrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan mencegah banjir dan kebakaran.,

Penuruan muka air tanah juga akan mempercepat laju pemadatan tanah (subsidensi), sehingga akan mengurangi kemampuanya dalam menyimpan air. Penurunan muka gambut mambuat lahan menjadi amblas. Subsidensi gambut di lahan perkebunan kelapa sawit ditandai dengan rebahnya pokok sawit atau pokok doyong. Kondisi ini tentu merugikan kebun itu sendiri.

Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau tanah dengan sulfat masam dan intrusi air laut. Dampaknya adalah tanah dan perairan akan menjadi sangat masam, sehingga dapat meracuni tanaman yang ada di atasnya.

Kebakaran Lahan

Fakta bahwa terjadi kerusakan gambut terindikasi dari adanya pembukaan lahan dengan cara bakar. Hal ini lumrah dilakukan pada pada awal tahun 1990, yang sangat jelas tercantum dalam panduan-panduan sistem pembukan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, misalnya yang ditulis oleh Pangudijatno (1989) dalam buletin Perkebunan Vol 20 (3), yang kemudian diadopsi oleh perusahaan perkebunan dalam menjalankan kegiatannya.

Kejadian kebakaran lahan gambut sudah sering terjadi, bahkan baru-baru ini yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir di areal kebun K2I yang merupakan proyek Pemerintah Propinsi Riau Kejadian kebakaran lahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap ekonomi maupun lingkungan. Dari sisi tanah, sifat fisik gambut akan rusak, dari sisi udara terjadi pencemaran udara. Dampak dari kebakaran lahan adalah setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap yang menyesakan. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang kontroversial.

Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hot spots (titik panas) terjadi di lahan gambut

Pembukaan lahan gabut dengan cara mebakar, rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilang kemampuan menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar

Emisi Gas Rumah Kaca.

Lahan gambut menghasilkan gas rumah kaca berupa CO2, Gas Methan.(CH4) dan nitrus oksida (N2O). Emisi gas tersebut akan meningkat seiring dengan menurunnya tinggi muka air tanah akibat drainase yang berlebih. Tanah gambut menyimpan karbon dalam jumlah yang cukup banyak yaitu sekitatr 3771 ton/ha. (Melling et al, 2007). Selanjutnya bedasarkan penelitiannya di Mukah, Sarawak Malaysia, bahwa pada lahan gambut dengan vegatasi tanaman kelapa sawit akan menghasilkan emisi karbos (CO2) sebanyak 1.540 g C/m2/tahun. Sebaliknya tanaman kelapa sawit di lahan gambut selam lima tahun akan menyimpan karbon sebanyak 27 ton C/ha., yang disumbangkan dari batang, pelepah dan akarnya.




Pengelolaan air merupakan faktor utama yang dapat mengontrol laju oksidasi. Dari inkubasi bahan gambut selama 7 hari mendapatkan emisi CH4 dari gambut yang telah didrainase dalam suasana anaerob melepaskan 4500 ng CH4/gram bahan gambut segar, sementara dari gambut alami hanya 10 ngCH4/gram Selanjutnya berdasarkan perhitungan tersebut diestimasi dalam kondisi anaerob bahwa gambut dengan ketebalan 1 meter akan melepaskan CH4 sebesar 1,10 mg/m2/jam dan CO2 sebesar 71,9 mg/m2/jam (Chapman dkk, 1996 dalam Barchia, 2006).

Kandungan karbon lahan gambut di Pulai Sumatera pada tahun 1990 sekitar 22.283 juta ton dan pada tahun 2002 tinggal sekitar 18.813 juta ton atau telah mengalami pelepasan sebanyak 3.470 juta ton atau 15,5 % dari total karbon Pulau Sumatera (Wahyunto dkk, 2005 dalam Bruchia, 2006). Pengurangan ini diakibatkan oleh adanya aktivitas pembukaan lahan gambut untuk berbagai keperluan.
Seperti telah dibahas di bagian atas, pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
3.2.2. Dampak terhadap Ssosial Ekonomi

Secara ekonomi pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat dalam mingkatkan devisa negara, meningkatkan perekonomian daerah, meningkatkan kesempatan kerja dan peluang berusaha. Kondisi saat ini kelapa sawit merupakan komoditi andalan dan merupakan industri yang tetap bertahan pada saat terjadi krisis ekonomi.

Sebagai gambaran penggunaan tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit menggunakan norma 0,2 HK (hari kerja)/hektar lahan. Apabila luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 100.000 ha maka tenaga yang bekerja langsung di sektor tersebut sebanyak 20 ribu orang, belum lagi tenaga yang bekerja secara tidak langsung karena adanya kegiatan perkebunan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan gesekan-gesekan sosial seperti kecemburuan sosial, konflik lahan baik perorangan maupun hak-hak ulayat/adat. Pembukaan hutan gambut akan menghilangkan mata pencaharian penduduk lokal yang biasa mengandalkan kehidupannya dari hutan gambut tersebut. Dalam prinsip pembangunan berkelanjutan faktor sosial sangat penting untuk diperhatikan, sehingga terjadi sinergi antara masyarakat lokal dengan pelaku usaha.

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 2/4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Lahan Gambut

2.1.1. Pembentukan Gambut

Gambut adalah sisa tumbuhan yang telah mati dan kemudian diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen yang lebih stabil. Selain zat organik yang membentuk gambut terdapat juga zat organik dalam jumlah yang kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air (lebih dari 90 %). Zat organik pembentuk dalam perbandingan yang berlainan sesuai dngan tingkat pembusukannya (Siddik et all, 1993). Zat organik tersebut terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wax dan resin), humus dan lain-lain. Unsur-unsur pembentuk gambut sebagian besar terdiri karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan oksigen (O), selain itu terdapat juga unsur-unsur Al, Si, Na, S, P, Ca dalam bentuk terikat. Tingkat pembusukan pada gambut akan menaikan kadar karbon (C) dan menurunkan oksigen (O).

Proses-proses yang berperan dalam pembentukan gambut secara lebih rinci telah dijelaskan oleh Everett (1983) dalam Lopulisa (1993). Proses-proses tersebut umumnya dapat dikelompokkan ke dalam dua proses utama yaitu pembentukan rawa dan naiknya muka air tanah. Naiknya muka air tanah disebabkan oleh terhambatnya drainase, terbentuknya lapisan beku permanen, menurunnya evapotraspirasi, terbentuknya lapiasn cadas, atau mencairnya es yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Dengan meningkatnya permukaan air tanah, pertumbuhan vegetasi menjadi tertekan kecuali tumbuhan yang tahan air yang memungkinkan akumulasi bahan organik.

Tanah gambut merupakan tanah yang berbahan induk dari sisa tumbuhan dengan proses dekomposisi terhambat, tidak atau hanya sangat sedikit (< 5 %) mengandung bahan tanah mineral terkristal. Tanah gambut bersifat sarang (porous) dan sangat ringan (Maas, 1993). Selanjutnya dikatakan bahwa kualitas gambut dipengaruhi oleh bahan penyusun gambut, ketebalannya, tingkat dekomposisi dan tata air serta lingkungan gambut tersebut. Gambut yang berada dalam suasana tawar akan berbeda dengan gambut yang berada dalam lingkungan yang payau atau asin.

Laju akumilasi bahan organik sangat tergantung dari produktivitas vegetasi sebagai bahan pembentuk gambut yang sangat ditentukan oleh lokasi geografis, spesies tanaman dan laju dekomposisi bahan organik. Laju akumulasi bahan organik dapat berkisar dari 1,8 cm/ 100 tahun misalnya di Norwegia sampai 200 cm/100 tahun seperti di Bermuda (Everett, 1983 dalam Lopulisa , 1993).

2.1.2. Sifat Fisik dan Kimia Gambut

Dari sifat dan karakteristik gambut yang paling penting adalah sifat dan karateristik fisika yang ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan itu sendiri. Kerapatan lindaknya berkisar antara 0,05 – 0,40 gram/cm3, mempunyai porositas 75 – 95 % (Kyuma, 1987 dalam Dai,1989). Mampu menyimpan air 3 sampai 5 kali bobotnya. Tingkat kematangan gambut sangat berpengaruh terhadap sifat fisk, kimia dan hidrologinya. Pada gambut saprik daya simpan airnya < 450 % dari berat keringnya (Purwowidodo, 1991 dalam Triutomo, 1993).

Tanah gambut dalam keadaan tergenang secara permanen, sehingga sisa-sisa tanaman yang mati tidak mengalami pelapukan dan seolah-olah mengalami pengawetan. Semua bagian tanaman tersebut masih menunjukkan bentuk aslinya. Tanah tidak mengalami perkembangan struktur dengan konsistensi lepas, bersifat spon dapat menyerap dan menahan air dalam jumlah besar. Dengan pembuangan air (drainase), masa gambut akan melepaskan airnya dan jika berlanjut akan menyebabkan pengerutan dan penyusutan masa atau dikelan dengan ”subsidensi”. Jika pengeringan berlangsung intensif dan cepat, dapat terjadi penyusutan tak balik (irreversible shrinkkage) dan membentun pasir semu (pseudo sand) (Pangudijatno, 1989)


Dalam Taxonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003), tanah gambut didefinisikan sebagai tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 20 % (bila tanah tidak mengandung liat) atau lebih dari 30 % (bila tanah mengandung liat 60 % atau lebih) dan tebalnya secara kumulatif lebih dari 40 cm. Tahan gambut atau Histosol dikaslifikasikan kedalam tiga suborder berdasarkan tingkatan dekomposisi bahan gambut yaitu Fibrist dengan BD <> 0,2 gram/cc.

Gambut di Indonesia bervariasi kedalamannya mulai 0,6 hingga lebih dari 6 meter. Berdasarkan kedalamannya lahan gambut digolongkan dalam 3 kriteria yaitu dangkal ( 0,6 – 1 M), sedang (1-2 m) dan dalam > 2 meter (Dolmat et al 1982 dalam Purba dan Siregar, 1989).

Pada tanah gambut Sumatera yang memiliki ketebalan kurang dari 50 cm mempunyai pH 4,0 – 5.1 sedangkan gambut yang tebalnya lebih dari 50 cm pH tanah berkisar` antara 3.1 – 3.9. Sumber kemasaman pada tanah gambut berasal dari asam-asam anorganik seperti asam sulfat maupun asam-asam organik (Hardjowigno, 1989). Kadar nitrogen (N) sangat rendah dibandingkan dengan kadar karbon (C), sehingga nilai perbandingan C/N jadi sangat tinggi, yang menujukkan sangat lambatnya proses pelapukan berlangsung. Rendahnya pH tanah juga menyebabkan kurang tersedianya unsur hara makro yang lain seperti fostat (P), kalium (K), magnesium (Mg) dan kalsium (Ca) (Pangudijanto, 1989).

2.2. Fungsi Ekosistem Lahan Gambut Ekosistem rawa gambut berperan penting dalam pengaturan sistem di biosfer. Setiap unsur dari sub-sistem dalam ekosistem rawa berinteraksi membentuk proses-proses terhadap lingkaran kehidupan termasuk siklus biogeokimia, pendukung rantai makanan, dinamika hidrologi dan kualitas air, wilayah habitat untuk beragam spesies flora dan fauna (Barchia, 2006). Lahan gambut berperan penting dalam tata air kawasan. Ia bersifat seperti spon penyerap kelebihan air di musim hujan hingga dapat mencegah banjir. sementara itu, di musim kemarau, air yang dimilikinya akan terlepas secara perlahan. Hutan hujan tropis rawa di Indonesia termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaragaman kehidupan liar lainnya. Sejumlah satwa langka, seperti buaya senyulong dan harimau sumatra, menjadikan lahan gambut sebagai tempat berlindung. Hutan rawa gambut juga merupakan daerah pengasuhan, daerah pemijahan dan pembesaran atau tempat mencari ikan dari berbagai biota air, seperti ikan , udang, kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya (Tepu, 2004 dalam Barchia, 2006). Pada hutan rawa gambut juga ditemukan banyak jenis pohon bernilai ekonomi seperti ramin, meranti, durian, kempas, punak, balam, jelutung dan lain-lain. Hutan rawa gambut yang mempunyai ketebalan lebih dari 3 meter tertantu merupakan kawasan lindung sebagai mana tertuang dalam Kepres nomor 32 tahun 1990. Ekosistem rawa gambut juga merupakan tempat pemendaman karbon yang telah berlangsung ribuan tahun. Laju penumpukan karbon rata-rata rawa gambut sekitar 0,74 ton/ha/tahun. Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5000 ton/ha. Sebaliknya emisi gas CO2 oleh lahan gambut diperkirakan 100 – 400 mg/m2/jam atau 9 – 35 ton/ha/tahun. Lahan gambut juga berperan penting bagi seisi alam dalam kapasitasnya sebagai penyimpan karbon. Gangguan fungsi yang satu ini dapat menyebabkan lepasnya karbon ke atmosfer dan mendorong laju perubahan iklim (Barchia, 2006).

2.3. Penyebaran Lahan Gambut dan Potensinya

Data luasan lahan gambut sangat beragam menurut sumbernya. Menurut PPT (1981 ) dalam Barchia (2006) luas sumberdaya lahan gambut di Indonesia yaitu 27, 06 juta hektar, dimana 8,9 juta hektar berada di Sumatera, menurut Euroconsult (1984) luas lahan gambut di Indonesia mencapai 20 juta. Menurut Sukardi dan Hidayat (1988) luas lahan gambut di Indonesia mencapai 18,48 juta ha sedangkan menurut Nugroho (1992) mencapai 15,5 juta ha. Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984.

Menurut Bapedda Tingkat I Riau (1993) Endapan gambut dataran rendah di Riau telah dikenal sangat luas sebarannya sesuai dengan bentangan dataran pantai, tetapi perkiraan cadangannya masih tertalu kasar yaitu mencapai luasan 1.87 juta ha. Sejak tahun 1984 Direktorat Mineral Bandung telah melaksanakan penyelidikannya dengan membagi sebaran gambut di Riau menjadi tiga bagian yaitu :
a. Gambut di daerah Tembilahan – Rengat (kuantan) disebut endapan gambut kuantan, yang sebagian besar terletak di sebelah selatan sungai Kuantan. Undapan gambutnya idbagi menjadi 5 kubah yaitu Kuala Cenaku, Teluk Kiambang, Reteh, enok I dan Enok II. Dengan ketebalan masing-masing 4; 5; 2; 3,5; dan 2 meter dengan jumlah sumberdaya tidak kurang dari 3 milyard m3. Mutu gambut di daerah ini cukup baik untuk bahan energi (gambut ombrogen) dengan rata-rata nilai kalori 4.600 cal/gr, kadar abu 4 % dan belerang 0,4 %.
b. Gambut di Siak yang meliputi Siak Kanan, Siak Kiri dan Bukit Batu. Ketebalan maksimal di ketiga daerah tersebut masing-masing adalah 4,0; 2,0; dan 1,5 meter dengan sumber daya gambut yang tebalnya lebih dari 1 meter diperkirakan masing-masing seebsar 1,9 milyar m3; 320 juta m3 dan 468 juta m3. Rata-rata nilai analisanya adalah nilai kalori 4.800 cal/gr, kadar abu 1,3 % dan belerang 0,2 %
c. Gambut di daerah Bengkalis, Gambut Bengkalis terdiri dari 4 kubah gambut dengan ketebalan maksimal 8,7,10 dan 7 meter dengan luas masing-masing kubah sekitar 18.500 ha, 31.500 ha, 14.300 ha dan 2.050 ha. Jumlah sumberrdaya gambut yang ketebalannya lebih dari 1 meter adalah sekitar 3 milyar m3. Hasil analisanya menujukkan angka rata-rata nilai kalori 5.500 cal/gram, kadar abu 1 % dan belrang 0,1 %, termasuk jenis gambut ombrogen.

Potensi lahan gambut cukup besar untuk usaha pertanian, dan lahan gambut yang belum dimanfaatkan cukup luas, namun pemanfaatan lahan gambut tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kelestarian dan mencegah terjadinya degradasi yang dampaknya cukup luas baik terhadap sumber kehidupan manusia maupun terhadap fisk lingkungan. Reklamasi lahan gambut harus memegang prinsip bahwa gambut merupakan lahan marginal dan mudah terdegradasi. Gambut dengan kedalaman > 3 meter termasuk kategori kawasan hutan lindung yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini telah dituangkan oleh pemerintah melalui Keppres No. 32 Tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia (Barchia, 2006).

Degradasi lahan gambut di kelapa sawit (bagian 1/4)

DAMPAK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
UNTUK BUDI DAYA KELAPA SAWIT
TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN
DAN UPAYA PENAGGULANGANNYA


Oleh :
SANTOBRI
Mhs Sm II 2007/2008

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2008




I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Ratusan ribu hektar lahan gambut dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Lahan rawa menjadi kawasan andalan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun belakangan ini belakangan ini banyak menuai protes dari para pemerhati dan penggiat lingkungan baik dari dalam negeri maupuan dari luar negeri. Hal ini tentu didasari oleh kekhawatiran rusaknya lahan gambut sebagai fungsi ekosistem yang kompleks..

Meski memiliki fungsi strategis, alih fungsi lahan gambut masih terus berlangsung, baik untuk lahan pertanian maupun pemukiman serta peruntukkan lainnya. Berbagai macam bentuk alih fungsi menyebabkan terjadinya penurunan (gradasi) fungsi strategis lahan gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Seperti fungsi hidrologis, yang berperan penting pada sistim biosfir, yaitu sebagai sumber karbon, pengendali sirkulasi CO2 dan berpengrauh besar pada kondisi keseimbangan karbon di atmosfir.

Selama ini sistem pengelolaan hutan rawa gambut umumnya tidak memperhatikan sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip kelestariannya sehingga berpotensi lahan rawa gambut akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaharui. Kerusakan gambut seperti yang terjadi di Kalimantan dengan program Gambut sejuta hektar, dimana lahan gambut terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya (Mitchell, Ssetiawan dan Rahmi, 2007)

Terjadinya degradasi fungsi lahan gambut, salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman terhadap karakteristik gambut dalam kondisi alami. Pengetahuan tentang keaneka-ragaman karakteristik gambut dalam kondisi masih alami menjadi sangat diperlukan, agar dapat mengelola dengan bijak (benar dan tepat) yaitu bermanfaat secara ekonomi dengan tidak mengesampingkan fungsi lingkungan.

Untuk menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi,maka perencanaan penggunaan, pengelolaan, dan penyelamatan sumberdaya alam itu perlu dilakukan dengan lebih cermat, dengan memperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat yang merugikan kelangsungan pembangunan secara menyeluruh.

1.2. Tujuan
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui sifat dan fungsi lahan gambut, potensi, pemanfaatan dan permasalahannya, sehingga diperoleh suatu cara yang tepat dalam mengelola lahan gambut. Tulisan ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengelola lahan gambut terutama untuk keperluan budidaya tanaman kelapa sawit yang berwawasan lingkungan.

Biaya Olah PKS dan Biaya Lingkungan

BIAYA OLAH VS BIAYA LINGKUNGAN

Oleh Wiwik Widiati
Ast. Sistem Manajemen Lingkungan
Bagian 05.04

Environmental responsibility now day has become an important focus of companies. The strict of environmental regulations urges the companies to consider sustainable development concepts into business decisions. The decisions covering environmental costs up to the production. The companies should identify every step of their process and determine their efforts to reduce environmental impact, and elaborate it into environmental budget to perform better environmental management.

Every process of economic activity simultanously will generate some advantage and disadvantage impact through community welfare, called externality. In managing this impact, the companies should focus on disadvantage impact, such as environmental pollution.

The need to identify sources of polution, is important in estabilished environmental programe. To implement it, the expenditure costs should be intenalized as component of production cost. The advantage of internalizing external cost is protecting company from environmental dispute to community. So far, fairness; transparancy; acoountability and participation, which performed through practising Good Environmental Governance (GEG) shall give positive image.
PENDAHULUAN

Dalam memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan lingkungan yang terus semakin ketat, Perusahaan dihadapkan pada pilihan berupa biaya olah yang realistis, dalam arti lebih tinggi dengan kompensasi kinerja pengelolaan lingkungan menjadi lebih baik atau biaya olah lebih rendah dengan konsekwensi pengelolaan lingkungan yang tidak optimal/buruk. Pembangunan yang semakin meningkat mengandung risiko terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, sehingga dapat mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem sebagai penunjang kehidupan, sementara terjadinya penurunan sistem penunjang kehidupan tersebut akan memberikan dampak pada masyarakat yang harus menanggung beban sosial akibat pencemaran.

Dampak negatif terhadap lingkungan yang timbul akibat suatu kegiatan, pada akhirnya akan menimbulkan beban sosial berupa biaya ekstra yang harus dikeluarkan masyarakat, antara lain biaya untuk berobat, biaya untuk membeli air bersih, kehilangan kesempatan untuk berusaha, dll. Bertambahnya pengeluaran extra tersebut, pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai klaim lingkungan terhadap perusahaan, merupakan indikasi bahwa adanya beban sosial kumulatif berupa dampak langsung yang diterima masyarakat di sekitar industri, maupun masyarakat di sebelah hilir perusahaan yang tidak menerima dampak secara langsung semakin besar.

Semakin ketatnya peraturan perundang-undangan lingkungan berimplikasi pada munculnya tuntutan kepada management perusahaan untuk melakukan perubahan kebijakannya sesuai tuntutan stake holder sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan, dengan cara merealisasikan biaya produksi yang lebih efisien sekaligus menghindari terjadinya pencemaran lingkungan dibanding kewajiban untuk memulihkan lingkungan, yang tentunya lebih memberikan citra yang negatif bagi perusahaan.

FAKTOR EKSTERNALITAS

Dalam suatu kegiatan perekonomian dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Keadaan dimana suatu proses kegiatan dapat menimbulkan manfaat atau kerugian terhadap pihak lain biasa disebut eksternalitas.

Sebagai gambaran untuk lebih jelasnya, terjadinya pencemaran atau polusi, merupakan suatu ekternalitas. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya daya tarik alam (amenity) karena misalnya berubahnya kualitas air sungai, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (polusi udara) serta polusi air, yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat luas.

Pelaku ekonomi/perusahaan yang mengemisikan asap dari cerobong pabrik maupun membuang air limbah ke media lingkungan (sungai) mengakibatkan perubahan kualitas lingkungan bahkan penurunan kualitas yang selanjutnya akan mempengaruhi pihak lain yang memanfaatkan air, tanah maupun udara yang dianggap sebagai common goods atau sumber daya publik dan bersifat open acces. Sebagai contoh, kepuasan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya air, udara dan tanah yang tersedia berkurang dengan terjadinya pencemaran lingkungan.
Dari berbagai isu kasus pencemaran yang menimpa industri, timbulnya ekternalitas akibat adanya kegiatan yang berbenturan langsung bahkan dianggap merugikan kepentingan masyarakat, cenderung diatasi melalui penegakan hukum atau ancaman penerapan sanksi sosial/administrasi sampai kepada tuntutan ganti rugi. Penyelesaian dengan cara ini sebetulnya bisa dicegah, karena akan menimbulkan biaya yang lebih besar dan merupakan preseden buruk bagi perusahaan. Apabila pencemaran yang ditimbulkan akibat proses produksi diperhitungkan maka hal tersebut tidak akan terjadi.
Lingkungan dimana mahluk hidup tinggal, memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya terhadap berbagai jenis polutan yang masuk (kemampuan asimilatif), di sisi lain berbagai teknologi alternatif untuk mengatasi berbagai persoalan pencemaran semakin banyak ditawarkan. Berdasarkan ke dua kondisi tersebut, dan adanya konsep pembangunan berwawasan lingkungan, telah mendorong para pelaku ekonomi, untuk mengatasi munculnya faktor eksternal, dengan cara mengkalkulasi biaya lingkungan (potensi nilai kerugian yang kemungkinan akan dibayarkan kepada pihak lain yang menderita atau terkena dampak sekaligus sebagai pengguna sumberdaya publik). Hasil kalkulasi biaya lingkungan/eksternal tersebut kemudian diintenalisasikan ke dalam komponen biaya produksi atau dikenal dengan istilah internalizing external costs.

ALOKASI BIAYA LINGKUNGAN DALAM BIAYA PRODUKSI/OLAH

Terlepas apakah klaim lingkungan terhadap suatu perusahaan terbukti atau tidak, biasanya kompensasi dalam bentuk ganti rugi uang maupun material lainnya seperti ganti bibit ikan terhadap sumberdaya alam publik yang rusak, akan memberikan gambaran negatif terhadap citra perusahaan, karena persepsi/opini masyarakat terhadap bagaimana perusahaan mengelola lingkungannya telah terbentuk.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, biaya ganti rugi yang akan dibayarkan perusahaan, bisa dicegah atau dihindarkan apabila perusahaan dalam perencanaan kerjanya melakukan kalkulasi dan selanjutnya menganggarkan biaya-biaya yang bersifat pencegahan untuk mengelola titik-titik kritis dalam proses produksi yang berpotensi sebagai sumber pencemar.
Ketika perusahaan dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya terutama aspek keuangan, maka langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan alokasi terhadap biaya lingkungan. Pengalokasian tersebut akan tentunya akan menjadi beban tetap dalam komponen biaya olah. Akan tetapi mengingat hal ini dilakukan secara terencana, maka kemungkinan munculnya biaya tak terduga akibat klaim lingkungan dapat dihindarkan. Yang menjadi pertanyaan adalah berapakah biaya lingkungan yang harus atau pantas dialokasikan/dibebankan kepada biaya olah?
Identifikasi terhadap sumber pencemar dan pihak-pihak yang menerima bahan cemaran, diperlukan dalam melakukan penilaian tentang besarnya kompensasi atau ganti rugi langsung yang akan diberikan kepada individu maupun kelompok masyarakat yang terkena dampak negatif. Akan tetapi cara penilaian seperti ini tidak dapat memenuhi keinginan semua pihak.

Sebagai contoh ketika suatu badan air tercemar sehingga menimbulkan dampak pada masyarakat suatu desa seperti kesempatan yang hilang bagi nelayan untuk mendapatkan ikan di sungai (pendapatan berkurang), munculnya penyakit kulit, dan kebutuhan untuk pengadaan air bersih, dll. Maka seluruh nilai kerugian yang diderita masyarakat harus ditanggung oleh pihak pencemar. Besaran nilai kompensasi yang dihitung biasanya sangat besar dan sulit bagi perusahaan yang dianggap sebagai pihak pencemar untuk memenuhi tuntutan ganti rugi tersebut..

Dihadapkan pada hal tersebut, maka menurut penulis upaya-upaya pencegahan dalam mencegah terjadinya pencemaran lebih disarankan daripada pendekatan ganti rugi/kompensasi. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Liingkungan Hidup, Bab IX tentang Ketentuan Pidana Pasal 41, berbunyi sbb.:
1. Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,-

Selanjutnya Pasal 41, mengatur mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh karena faktor kelalaian, sbb.:
1. Barang siapa karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,-

Dengan memperhatikan besarnya denda yang dikenakan kepada orang/badan usaha yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, maka perkiraan kisaran denda yang harus dibayarkan berkisar antara Rp. 100.000.000,- - Rp. 750.000.000,-, belum termasuk biaya ganti rugi untuk pemulihan lingkungan (mitigasi) hukuman kurungan penjara, dan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memulihkan nama baik.


Akan tetapi, ketika dihadapkan pada pilihan untuk mengendalikan biaya olah, maka program-program kegiatan yang ditampung dalam rekening tersebut akan dipangkas terlebih dahulu, karena dinilai tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Di sisi lain, dalam proses produksi kehadiran limbah atau faktor ekternal tersebut secara fisik tidak dapat dihindarkan, bahkan volume yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan tingkat produksi. Pemangkasan bahkan penghilangan pada pos biaya lingkungan, akan diterjemahkan bahwa komitmen perusahaan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungannya untuk memenuhi peraturan perundang-undangan masih belum optimal.

Sampai dengan saat ini belum ada mekanisme untuk menghimpun semua informasi yang berkaitan dengan biaya eksploitasi untuk pengelolaan lingkungan, sehingga harapan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail tentang berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan pengelolaan lingkungan yang dinyatakan dalam Rp/Kg TBS diolah masih belum dapat disajikan.



PENUTUP

Isu pencemaran dan perusakan lingkungan yang diikuti oleh tuntutan ganti rugi untuk pemulihan lingkungan, baik dengan pendekatan musyawarah maupun hukum, dalam praktek bisnis perusahaan sebaiknya dihindarkan, karena implikasi dalam bentuk citra negatif yang ditimbulkan akan merugikan perusahaan.

Dalam penetapan biaya produksi, biaya lingkungan terutama yang bersifat untuk pencegahan dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. Karena mau atau tidak mau, biaya tersebut pasti akan keluar apabila terjadi klaim atau tuntutan ganti rugi akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.


Daftar Pustaka
1. Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Diktat Pelatihan Ekonomi Lingkungan Edisi 1, PSLH UGM Tahun 2002, Yogyakarta.

Senin, 02 Juni 2008

PERAN INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT VS INDUSTRI MINYAK NABATI LAINNYA DALAM PEMANASAN GLOBAL

Dalam hal emisi karbon, Indonesia secara cepat dianggap sebagai negara ke tiga terbesar penghasil gas rumah kaca yang oleh para ahli dipercaya sebagai dalang Global Warming atau fenomena pemanasan global sesudah Amerika dan China, demikian hasil konklusi studi para ahli lingkungan Wetland International dan Delft Hydraulics yang keduanya berasal dari Netherland. Emisi gas rumah kaca tersebut dikatakan disumbangkan dari industri perkebunan yang dianggap menghancurkan hutan-hutan tadah hujan, perluasan lahan perkebunan dengan mengeringkan dan membakar tanah-tanah gambut dan kerusakan lahan akibat pemakaian pupuk kimia secara berlebihan. Praktek-praktek tersebut di atas ini sangat mengejutkan dan langsung merubah citra positif sawit menjadi sebaliknya bahkan sangat buruk kata Allex Kaat juru bicara Wetlands salah satu group pelestari lingkungan sebagai mana dilaporkan majalah Info Sawit, Edisi Nopember 2007.

Ada hal yang menarik untuk kita sama-sama kaji. Bahwa industri perkebunan kelapa sawit tumbuh karena adanya kebutuhan masyarakat dunia akan minyak nabati yang sangat tinggi, dan kita semua tanpa sadar menikmati begitu banyaknya produk-produk baik makanan, kosmetik, obat-obatan dll yang bahan dasarnya dari minyak kelapa sawit. Pertanyaannya adalah seberapa besar sumbangan industri kelapa sawit terhadap kerusakan lingkungan dan pemanasan global dibandingkan dengan industri minyak nabati lainya seperti kedelai dan repeseed oil.
Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) 5-7 ton/ha/tahun, dan apabila dijadikan minyak makan akan menjadi 3-5 ton per ha/tahun. Bandingkan dengan minyak yang dapat dihasilkan dari kedelai yaitu 0,32 ton/ha dan dari repeseed oil hanya 0.62 ton/ha (Saragih, 2001).

Artinya dari sisi kebutuhan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dalam rangka pemenuhan permintaan pasar akan minyak nabati akan lebih sedikit dibandingkan dengan lahan untuk menghasilkan minyak kedalai atau repeseed oil. Atau kebutuhan lahan untuk menghasilkan setiap ton minyak nabati dari kedalai adalah 10 kali lipat dibandingkan dengan minyak kelapa sawit dan jika dibandingkan dengan kebutuhan lahan untuk repeseed oli adalah 5 kali lipat dari kebutuhan luas lahan minyak kelapa sawit.

Dari sisi jumlah biomasa, volume biomasa per hektar kebun kelapa sawit jauh lebih besar dibandingkan dengan kedelai artinya, jumlah karbon yang diserap dan disimpan tanaman kelapa sawit akan jauh lebih besar dibandingkan dengan tanaman kedelai.

Dari sisi lamanya karbon tersimpan, kebun kelapa sawit mempunyai daur hidup 25 sampai 30 tahun, sedangkan kedelai adalah tanaman semusim yang daur hidupnya hanya dalam hitungan bulan. Artinya karbon yang tersimpan pada biomasa kelapa sawit jauh lebih lama dibandingkan dengan tanaman kedelai. Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), bahwa tanaman auat pohon berumur panjang yang tumbuh dihutan maupun dikebun campuran merupakan penimbunan atau penyimpan C (rosot C = C Sink) yang jauh lebih besar dai pada tanaman semusim.

Dari tiga alasan tersebut yaitu luas lahan yang dibutuhkan, jumlah karbon diserap, dan lamanya karbon tersimpan dalam daur hidupnya, maka dunia atau kita semua harus berterima kasih pada industri kelapa sawit yang telah memenuhi kebutuhan pangan kita dengan resiko lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan indutri minyak nabati lainnya. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa idustri kelapa sawit merupakan penyumbang pemanasan global bahkan bisa kita katakan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat merupakan paru-paru dunia, yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar.

Namun demikian kita juga tidak menutup mata kalau industri kelapa sawit dapat menyumbangkan emisi gas rumah kaca, sama dengan kegiatan-kegiatan lainnya di bumi ini. Sumber-sumber GRK dari pembangunan perkebunan kelapa sawit ini yakni dari :
Pembukaan lahan dan kebakaran lahan dimana terjadi pemusnahan tanaman yang ada diatasnya. Namun dengan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar, hal ini dapat diminimalisir. Dimana karbon dari biomasa yang melapuk sebagian akan tersimpan di tanah dalam bentuk humus.
Kegiatan pabrik kelapa sawit, yaitu dari pembakaran di pembangkit dan dari limbah yang dihasilkannya.
Kegiatan transportasi pengangkutan hasil dan kegiatan lainya di dalam perkebunan.

Murdiyarso (2003) menegaskan bahwa emisi (buangan) industri merupakan sumber kerusakan utama terbentuhya karbon di atmosfir yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi ("global warming") dan perubahan iklim. "Kyoto Protokol 1997" dengan United Nation Framework Convention on Climate Change-nya membuat suatu mckanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga tedadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon
Referensi:
Hairiah K dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office. Bogor.
Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto Impikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit Buku Kompas. JakartaSaragih, Bungaran. 2001. Suara dari Bogor : Membangun Sistem Agribisnis. Pustaka Wira Usaha Muda.