Kamis, 12 Juni 2008

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 2/4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Lahan Gambut

2.1.1. Pembentukan Gambut

Gambut adalah sisa tumbuhan yang telah mati dan kemudian diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen yang lebih stabil. Selain zat organik yang membentuk gambut terdapat juga zat organik dalam jumlah yang kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air (lebih dari 90 %). Zat organik pembentuk dalam perbandingan yang berlainan sesuai dngan tingkat pembusukannya (Siddik et all, 1993). Zat organik tersebut terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wax dan resin), humus dan lain-lain. Unsur-unsur pembentuk gambut sebagian besar terdiri karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan oksigen (O), selain itu terdapat juga unsur-unsur Al, Si, Na, S, P, Ca dalam bentuk terikat. Tingkat pembusukan pada gambut akan menaikan kadar karbon (C) dan menurunkan oksigen (O).

Proses-proses yang berperan dalam pembentukan gambut secara lebih rinci telah dijelaskan oleh Everett (1983) dalam Lopulisa (1993). Proses-proses tersebut umumnya dapat dikelompokkan ke dalam dua proses utama yaitu pembentukan rawa dan naiknya muka air tanah. Naiknya muka air tanah disebabkan oleh terhambatnya drainase, terbentuknya lapisan beku permanen, menurunnya evapotraspirasi, terbentuknya lapiasn cadas, atau mencairnya es yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Dengan meningkatnya permukaan air tanah, pertumbuhan vegetasi menjadi tertekan kecuali tumbuhan yang tahan air yang memungkinkan akumulasi bahan organik.

Tanah gambut merupakan tanah yang berbahan induk dari sisa tumbuhan dengan proses dekomposisi terhambat, tidak atau hanya sangat sedikit (< 5 %) mengandung bahan tanah mineral terkristal. Tanah gambut bersifat sarang (porous) dan sangat ringan (Maas, 1993). Selanjutnya dikatakan bahwa kualitas gambut dipengaruhi oleh bahan penyusun gambut, ketebalannya, tingkat dekomposisi dan tata air serta lingkungan gambut tersebut. Gambut yang berada dalam suasana tawar akan berbeda dengan gambut yang berada dalam lingkungan yang payau atau asin.

Laju akumilasi bahan organik sangat tergantung dari produktivitas vegetasi sebagai bahan pembentuk gambut yang sangat ditentukan oleh lokasi geografis, spesies tanaman dan laju dekomposisi bahan organik. Laju akumulasi bahan organik dapat berkisar dari 1,8 cm/ 100 tahun misalnya di Norwegia sampai 200 cm/100 tahun seperti di Bermuda (Everett, 1983 dalam Lopulisa , 1993).

2.1.2. Sifat Fisik dan Kimia Gambut

Dari sifat dan karakteristik gambut yang paling penting adalah sifat dan karateristik fisika yang ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan itu sendiri. Kerapatan lindaknya berkisar antara 0,05 – 0,40 gram/cm3, mempunyai porositas 75 – 95 % (Kyuma, 1987 dalam Dai,1989). Mampu menyimpan air 3 sampai 5 kali bobotnya. Tingkat kematangan gambut sangat berpengaruh terhadap sifat fisk, kimia dan hidrologinya. Pada gambut saprik daya simpan airnya < 450 % dari berat keringnya (Purwowidodo, 1991 dalam Triutomo, 1993).

Tanah gambut dalam keadaan tergenang secara permanen, sehingga sisa-sisa tanaman yang mati tidak mengalami pelapukan dan seolah-olah mengalami pengawetan. Semua bagian tanaman tersebut masih menunjukkan bentuk aslinya. Tanah tidak mengalami perkembangan struktur dengan konsistensi lepas, bersifat spon dapat menyerap dan menahan air dalam jumlah besar. Dengan pembuangan air (drainase), masa gambut akan melepaskan airnya dan jika berlanjut akan menyebabkan pengerutan dan penyusutan masa atau dikelan dengan ”subsidensi”. Jika pengeringan berlangsung intensif dan cepat, dapat terjadi penyusutan tak balik (irreversible shrinkkage) dan membentun pasir semu (pseudo sand) (Pangudijatno, 1989)


Dalam Taxonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003), tanah gambut didefinisikan sebagai tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 20 % (bila tanah tidak mengandung liat) atau lebih dari 30 % (bila tanah mengandung liat 60 % atau lebih) dan tebalnya secara kumulatif lebih dari 40 cm. Tahan gambut atau Histosol dikaslifikasikan kedalam tiga suborder berdasarkan tingkatan dekomposisi bahan gambut yaitu Fibrist dengan BD <> 0,2 gram/cc.

Gambut di Indonesia bervariasi kedalamannya mulai 0,6 hingga lebih dari 6 meter. Berdasarkan kedalamannya lahan gambut digolongkan dalam 3 kriteria yaitu dangkal ( 0,6 – 1 M), sedang (1-2 m) dan dalam > 2 meter (Dolmat et al 1982 dalam Purba dan Siregar, 1989).

Pada tanah gambut Sumatera yang memiliki ketebalan kurang dari 50 cm mempunyai pH 4,0 – 5.1 sedangkan gambut yang tebalnya lebih dari 50 cm pH tanah berkisar` antara 3.1 – 3.9. Sumber kemasaman pada tanah gambut berasal dari asam-asam anorganik seperti asam sulfat maupun asam-asam organik (Hardjowigno, 1989). Kadar nitrogen (N) sangat rendah dibandingkan dengan kadar karbon (C), sehingga nilai perbandingan C/N jadi sangat tinggi, yang menujukkan sangat lambatnya proses pelapukan berlangsung. Rendahnya pH tanah juga menyebabkan kurang tersedianya unsur hara makro yang lain seperti fostat (P), kalium (K), magnesium (Mg) dan kalsium (Ca) (Pangudijanto, 1989).

2.2. Fungsi Ekosistem Lahan Gambut Ekosistem rawa gambut berperan penting dalam pengaturan sistem di biosfer. Setiap unsur dari sub-sistem dalam ekosistem rawa berinteraksi membentuk proses-proses terhadap lingkaran kehidupan termasuk siklus biogeokimia, pendukung rantai makanan, dinamika hidrologi dan kualitas air, wilayah habitat untuk beragam spesies flora dan fauna (Barchia, 2006). Lahan gambut berperan penting dalam tata air kawasan. Ia bersifat seperti spon penyerap kelebihan air di musim hujan hingga dapat mencegah banjir. sementara itu, di musim kemarau, air yang dimilikinya akan terlepas secara perlahan. Hutan hujan tropis rawa di Indonesia termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaragaman kehidupan liar lainnya. Sejumlah satwa langka, seperti buaya senyulong dan harimau sumatra, menjadikan lahan gambut sebagai tempat berlindung. Hutan rawa gambut juga merupakan daerah pengasuhan, daerah pemijahan dan pembesaran atau tempat mencari ikan dari berbagai biota air, seperti ikan , udang, kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya (Tepu, 2004 dalam Barchia, 2006). Pada hutan rawa gambut juga ditemukan banyak jenis pohon bernilai ekonomi seperti ramin, meranti, durian, kempas, punak, balam, jelutung dan lain-lain. Hutan rawa gambut yang mempunyai ketebalan lebih dari 3 meter tertantu merupakan kawasan lindung sebagai mana tertuang dalam Kepres nomor 32 tahun 1990. Ekosistem rawa gambut juga merupakan tempat pemendaman karbon yang telah berlangsung ribuan tahun. Laju penumpukan karbon rata-rata rawa gambut sekitar 0,74 ton/ha/tahun. Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5000 ton/ha. Sebaliknya emisi gas CO2 oleh lahan gambut diperkirakan 100 – 400 mg/m2/jam atau 9 – 35 ton/ha/tahun. Lahan gambut juga berperan penting bagi seisi alam dalam kapasitasnya sebagai penyimpan karbon. Gangguan fungsi yang satu ini dapat menyebabkan lepasnya karbon ke atmosfer dan mendorong laju perubahan iklim (Barchia, 2006).

2.3. Penyebaran Lahan Gambut dan Potensinya

Data luasan lahan gambut sangat beragam menurut sumbernya. Menurut PPT (1981 ) dalam Barchia (2006) luas sumberdaya lahan gambut di Indonesia yaitu 27, 06 juta hektar, dimana 8,9 juta hektar berada di Sumatera, menurut Euroconsult (1984) luas lahan gambut di Indonesia mencapai 20 juta. Menurut Sukardi dan Hidayat (1988) luas lahan gambut di Indonesia mencapai 18,48 juta ha sedangkan menurut Nugroho (1992) mencapai 15,5 juta ha. Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984.

Menurut Bapedda Tingkat I Riau (1993) Endapan gambut dataran rendah di Riau telah dikenal sangat luas sebarannya sesuai dengan bentangan dataran pantai, tetapi perkiraan cadangannya masih tertalu kasar yaitu mencapai luasan 1.87 juta ha. Sejak tahun 1984 Direktorat Mineral Bandung telah melaksanakan penyelidikannya dengan membagi sebaran gambut di Riau menjadi tiga bagian yaitu :
a. Gambut di daerah Tembilahan – Rengat (kuantan) disebut endapan gambut kuantan, yang sebagian besar terletak di sebelah selatan sungai Kuantan. Undapan gambutnya idbagi menjadi 5 kubah yaitu Kuala Cenaku, Teluk Kiambang, Reteh, enok I dan Enok II. Dengan ketebalan masing-masing 4; 5; 2; 3,5; dan 2 meter dengan jumlah sumberdaya tidak kurang dari 3 milyard m3. Mutu gambut di daerah ini cukup baik untuk bahan energi (gambut ombrogen) dengan rata-rata nilai kalori 4.600 cal/gr, kadar abu 4 % dan belerang 0,4 %.
b. Gambut di Siak yang meliputi Siak Kanan, Siak Kiri dan Bukit Batu. Ketebalan maksimal di ketiga daerah tersebut masing-masing adalah 4,0; 2,0; dan 1,5 meter dengan sumber daya gambut yang tebalnya lebih dari 1 meter diperkirakan masing-masing seebsar 1,9 milyar m3; 320 juta m3 dan 468 juta m3. Rata-rata nilai analisanya adalah nilai kalori 4.800 cal/gr, kadar abu 1,3 % dan belerang 0,2 %
c. Gambut di daerah Bengkalis, Gambut Bengkalis terdiri dari 4 kubah gambut dengan ketebalan maksimal 8,7,10 dan 7 meter dengan luas masing-masing kubah sekitar 18.500 ha, 31.500 ha, 14.300 ha dan 2.050 ha. Jumlah sumberrdaya gambut yang ketebalannya lebih dari 1 meter adalah sekitar 3 milyar m3. Hasil analisanya menujukkan angka rata-rata nilai kalori 5.500 cal/gram, kadar abu 1 % dan belrang 0,1 %, termasuk jenis gambut ombrogen.

Potensi lahan gambut cukup besar untuk usaha pertanian, dan lahan gambut yang belum dimanfaatkan cukup luas, namun pemanfaatan lahan gambut tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kelestarian dan mencegah terjadinya degradasi yang dampaknya cukup luas baik terhadap sumber kehidupan manusia maupun terhadap fisk lingkungan. Reklamasi lahan gambut harus memegang prinsip bahwa gambut merupakan lahan marginal dan mudah terdegradasi. Gambut dengan kedalaman > 3 meter termasuk kategori kawasan hutan lindung yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini telah dituangkan oleh pemerintah melalui Keppres No. 32 Tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia (Barchia, 2006).

Tidak ada komentar: