Kamis, 12 Juni 2008

Biaya Olah PKS dan Biaya Lingkungan

BIAYA OLAH VS BIAYA LINGKUNGAN

Oleh Wiwik Widiati
Ast. Sistem Manajemen Lingkungan
Bagian 05.04

Environmental responsibility now day has become an important focus of companies. The strict of environmental regulations urges the companies to consider sustainable development concepts into business decisions. The decisions covering environmental costs up to the production. The companies should identify every step of their process and determine their efforts to reduce environmental impact, and elaborate it into environmental budget to perform better environmental management.

Every process of economic activity simultanously will generate some advantage and disadvantage impact through community welfare, called externality. In managing this impact, the companies should focus on disadvantage impact, such as environmental pollution.

The need to identify sources of polution, is important in estabilished environmental programe. To implement it, the expenditure costs should be intenalized as component of production cost. The advantage of internalizing external cost is protecting company from environmental dispute to community. So far, fairness; transparancy; acoountability and participation, which performed through practising Good Environmental Governance (GEG) shall give positive image.
PENDAHULUAN

Dalam memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan lingkungan yang terus semakin ketat, Perusahaan dihadapkan pada pilihan berupa biaya olah yang realistis, dalam arti lebih tinggi dengan kompensasi kinerja pengelolaan lingkungan menjadi lebih baik atau biaya olah lebih rendah dengan konsekwensi pengelolaan lingkungan yang tidak optimal/buruk. Pembangunan yang semakin meningkat mengandung risiko terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, sehingga dapat mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem sebagai penunjang kehidupan, sementara terjadinya penurunan sistem penunjang kehidupan tersebut akan memberikan dampak pada masyarakat yang harus menanggung beban sosial akibat pencemaran.

Dampak negatif terhadap lingkungan yang timbul akibat suatu kegiatan, pada akhirnya akan menimbulkan beban sosial berupa biaya ekstra yang harus dikeluarkan masyarakat, antara lain biaya untuk berobat, biaya untuk membeli air bersih, kehilangan kesempatan untuk berusaha, dll. Bertambahnya pengeluaran extra tersebut, pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai klaim lingkungan terhadap perusahaan, merupakan indikasi bahwa adanya beban sosial kumulatif berupa dampak langsung yang diterima masyarakat di sekitar industri, maupun masyarakat di sebelah hilir perusahaan yang tidak menerima dampak secara langsung semakin besar.

Semakin ketatnya peraturan perundang-undangan lingkungan berimplikasi pada munculnya tuntutan kepada management perusahaan untuk melakukan perubahan kebijakannya sesuai tuntutan stake holder sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan, dengan cara merealisasikan biaya produksi yang lebih efisien sekaligus menghindari terjadinya pencemaran lingkungan dibanding kewajiban untuk memulihkan lingkungan, yang tentunya lebih memberikan citra yang negatif bagi perusahaan.

FAKTOR EKSTERNALITAS

Dalam suatu kegiatan perekonomian dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Keadaan dimana suatu proses kegiatan dapat menimbulkan manfaat atau kerugian terhadap pihak lain biasa disebut eksternalitas.

Sebagai gambaran untuk lebih jelasnya, terjadinya pencemaran atau polusi, merupakan suatu ekternalitas. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya daya tarik alam (amenity) karena misalnya berubahnya kualitas air sungai, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (polusi udara) serta polusi air, yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat luas.

Pelaku ekonomi/perusahaan yang mengemisikan asap dari cerobong pabrik maupun membuang air limbah ke media lingkungan (sungai) mengakibatkan perubahan kualitas lingkungan bahkan penurunan kualitas yang selanjutnya akan mempengaruhi pihak lain yang memanfaatkan air, tanah maupun udara yang dianggap sebagai common goods atau sumber daya publik dan bersifat open acces. Sebagai contoh, kepuasan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya air, udara dan tanah yang tersedia berkurang dengan terjadinya pencemaran lingkungan.
Dari berbagai isu kasus pencemaran yang menimpa industri, timbulnya ekternalitas akibat adanya kegiatan yang berbenturan langsung bahkan dianggap merugikan kepentingan masyarakat, cenderung diatasi melalui penegakan hukum atau ancaman penerapan sanksi sosial/administrasi sampai kepada tuntutan ganti rugi. Penyelesaian dengan cara ini sebetulnya bisa dicegah, karena akan menimbulkan biaya yang lebih besar dan merupakan preseden buruk bagi perusahaan. Apabila pencemaran yang ditimbulkan akibat proses produksi diperhitungkan maka hal tersebut tidak akan terjadi.
Lingkungan dimana mahluk hidup tinggal, memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya terhadap berbagai jenis polutan yang masuk (kemampuan asimilatif), di sisi lain berbagai teknologi alternatif untuk mengatasi berbagai persoalan pencemaran semakin banyak ditawarkan. Berdasarkan ke dua kondisi tersebut, dan adanya konsep pembangunan berwawasan lingkungan, telah mendorong para pelaku ekonomi, untuk mengatasi munculnya faktor eksternal, dengan cara mengkalkulasi biaya lingkungan (potensi nilai kerugian yang kemungkinan akan dibayarkan kepada pihak lain yang menderita atau terkena dampak sekaligus sebagai pengguna sumberdaya publik). Hasil kalkulasi biaya lingkungan/eksternal tersebut kemudian diintenalisasikan ke dalam komponen biaya produksi atau dikenal dengan istilah internalizing external costs.

ALOKASI BIAYA LINGKUNGAN DALAM BIAYA PRODUKSI/OLAH

Terlepas apakah klaim lingkungan terhadap suatu perusahaan terbukti atau tidak, biasanya kompensasi dalam bentuk ganti rugi uang maupun material lainnya seperti ganti bibit ikan terhadap sumberdaya alam publik yang rusak, akan memberikan gambaran negatif terhadap citra perusahaan, karena persepsi/opini masyarakat terhadap bagaimana perusahaan mengelola lingkungannya telah terbentuk.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, biaya ganti rugi yang akan dibayarkan perusahaan, bisa dicegah atau dihindarkan apabila perusahaan dalam perencanaan kerjanya melakukan kalkulasi dan selanjutnya menganggarkan biaya-biaya yang bersifat pencegahan untuk mengelola titik-titik kritis dalam proses produksi yang berpotensi sebagai sumber pencemar.
Ketika perusahaan dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya terutama aspek keuangan, maka langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan alokasi terhadap biaya lingkungan. Pengalokasian tersebut akan tentunya akan menjadi beban tetap dalam komponen biaya olah. Akan tetapi mengingat hal ini dilakukan secara terencana, maka kemungkinan munculnya biaya tak terduga akibat klaim lingkungan dapat dihindarkan. Yang menjadi pertanyaan adalah berapakah biaya lingkungan yang harus atau pantas dialokasikan/dibebankan kepada biaya olah?
Identifikasi terhadap sumber pencemar dan pihak-pihak yang menerima bahan cemaran, diperlukan dalam melakukan penilaian tentang besarnya kompensasi atau ganti rugi langsung yang akan diberikan kepada individu maupun kelompok masyarakat yang terkena dampak negatif. Akan tetapi cara penilaian seperti ini tidak dapat memenuhi keinginan semua pihak.

Sebagai contoh ketika suatu badan air tercemar sehingga menimbulkan dampak pada masyarakat suatu desa seperti kesempatan yang hilang bagi nelayan untuk mendapatkan ikan di sungai (pendapatan berkurang), munculnya penyakit kulit, dan kebutuhan untuk pengadaan air bersih, dll. Maka seluruh nilai kerugian yang diderita masyarakat harus ditanggung oleh pihak pencemar. Besaran nilai kompensasi yang dihitung biasanya sangat besar dan sulit bagi perusahaan yang dianggap sebagai pihak pencemar untuk memenuhi tuntutan ganti rugi tersebut..

Dihadapkan pada hal tersebut, maka menurut penulis upaya-upaya pencegahan dalam mencegah terjadinya pencemaran lebih disarankan daripada pendekatan ganti rugi/kompensasi. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Liingkungan Hidup, Bab IX tentang Ketentuan Pidana Pasal 41, berbunyi sbb.:
1. Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,-

Selanjutnya Pasal 41, mengatur mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh karena faktor kelalaian, sbb.:
1. Barang siapa karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,-

Dengan memperhatikan besarnya denda yang dikenakan kepada orang/badan usaha yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, maka perkiraan kisaran denda yang harus dibayarkan berkisar antara Rp. 100.000.000,- - Rp. 750.000.000,-, belum termasuk biaya ganti rugi untuk pemulihan lingkungan (mitigasi) hukuman kurungan penjara, dan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memulihkan nama baik.


Akan tetapi, ketika dihadapkan pada pilihan untuk mengendalikan biaya olah, maka program-program kegiatan yang ditampung dalam rekening tersebut akan dipangkas terlebih dahulu, karena dinilai tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Di sisi lain, dalam proses produksi kehadiran limbah atau faktor ekternal tersebut secara fisik tidak dapat dihindarkan, bahkan volume yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan tingkat produksi. Pemangkasan bahkan penghilangan pada pos biaya lingkungan, akan diterjemahkan bahwa komitmen perusahaan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungannya untuk memenuhi peraturan perundang-undangan masih belum optimal.

Sampai dengan saat ini belum ada mekanisme untuk menghimpun semua informasi yang berkaitan dengan biaya eksploitasi untuk pengelolaan lingkungan, sehingga harapan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail tentang berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan pengelolaan lingkungan yang dinyatakan dalam Rp/Kg TBS diolah masih belum dapat disajikan.



PENUTUP

Isu pencemaran dan perusakan lingkungan yang diikuti oleh tuntutan ganti rugi untuk pemulihan lingkungan, baik dengan pendekatan musyawarah maupun hukum, dalam praktek bisnis perusahaan sebaiknya dihindarkan, karena implikasi dalam bentuk citra negatif yang ditimbulkan akan merugikan perusahaan.

Dalam penetapan biaya produksi, biaya lingkungan terutama yang bersifat untuk pencegahan dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. Karena mau atau tidak mau, biaya tersebut pasti akan keluar apabila terjadi klaim atau tuntutan ganti rugi akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.


Daftar Pustaka
1. Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Diktat Pelatihan Ekonomi Lingkungan Edisi 1, PSLH UGM Tahun 2002, Yogyakarta.

Tidak ada komentar: