Kamis, 12 Juni 2008

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 3/4)

III. PEMBAHASAN
Santobri...... Pekanbaru
3.1. Pemanfaatan Lahan Gambut sebagai Sumber Daya

Gambut sebagai sumer daya sudah diperhatikan dan telah menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional sejak pemerintah mengembangkan daerah pasang surut sebagai tujuan pembangunan trnasmigrasi pada awal Pelita I. Seminar-seminar pengembangan wilayah pasang surut yang diselengarakan era tahun 70-an mulai menaruh perhatian pada problema-problema yang dihadapi apda pengembangan transmigran di daerah gambut. Kemudaian setelah memalui berbagai proses akhirnya pada tahun 1991 dibangun suatu Pusat Riset Gambut Tropika di Potianak, kerjasama antara BPPT dengan Pemda Tk I Kalimantan Barat. Tujuan puast Riset tersebut adalah membangun suatu sarana pemanfaatan gambut dan lahan gambut secara optimal dalam suatu kerangka menunjang pembangunan nasional berkelanjutan (Setiadi, 1993).

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Seperti di beberapa daerah di Riau yang sejak era tahun 1990 sudah memanfaatkan lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit. Sayangnya data luasan lahan gambut yang diusahakan untuk perkebunan kelapa sawit tidak tersedia, tetapi berdasarkan pengamatan kami diperkirakan sudah ratusan ribu hektar, baik yang diusahakan oleh perusahaan besar maupun oleh perorangan.

Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan yang di tanah mineral, seperti dilaporkan Lim (2005) dalam Lim (2006) yang melakukan penelitiannya di Riau, pada tanaman umur 7 tahun (tahun tanam 1998) dengan mempertahankan kedalaman tinggi muka air 50 -75 cm dari muka tanah menghasilkan tandan buah segar (TBS) 28.4 ton/ha/tahun dibandingkan 22 ton/ha/tahun pada lahan yang kedalaman muka airnya pada level 100 cm dari permukaan tanah.
Suandi dan Chan (1989) melaporkan bahwa produksi kalapa sawit pada tanah gambut di kebun Ajamu Labuhan Batu Sumatera Utara (PT.Perkebunan VI) mencapai 22 – 27 ton/ha/tahun. Selanjutnya Gurmith, et al.., (1987) dalam Chan dan Lubis (1989). melaporkan bahwa produksi kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 popok per hektar pada tahun ke delapan panen adalah 24 ton/ha/tahun sedangkan pada umur panen 5 – 8 tahun menghasilkan TBS mencapai 26,4 ton/ha.

Tingkat keberhasilan dari budidaya kelaap sawit di lahan gambut merupakan upaya yang terintegrasi dari berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman dengan menggunakan bibit yang unggul dan sesuai, pemeliharaana tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman, manajemen pengelolaan drainase dll. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan lahan yang rapuh atau marginal sehingga apabila salah dalam mengelolanya akan berdampak pada kerusakan fungsi gambut itu sendiri. Apabila kondisinya sudah rusak maka akan sulit untuk memperbaikinya.

3.2. Dampak Pembangunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut

3.2.1. Dampak terhadap Lingkungan

Secara kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan hasil dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan berbeda ketika dilakukan di lahan gambut, dibandingkan dengan pada lahan mineral, mengingat lahan gambut merupakan lahan yang unik dan rentan terhadap kerusakan.

Hal-hal yang mempengaruhi tingkat kerusakan lahan gambut diantaranya adalah
Pembukaan lahan
Pembuatan parit/kanal drainase yang berlebih.
Kebakaran lahan
Memanfaatkan lahan gambut yang mempunyai kedalamn > 3 meter yang merupakan kawasan hutan lindung gambut yang diatur oleh Kepres no 32 tahun 1990.
Lingkungan yang akan terkena dampak meliputi :
Sifat fisik dan kimia tanah
Keanekaragaman hayati/ vegetasi alam (flora dan fauna)
Sistem hidrologi (fungsi pemasuk air, pengendali air/banjir, pencegah intrusi air laut).
Emisi gas rumah kaca

Pembukaan Lahan

Dampak pembangunan kelapa sawit yang cukup besar terhadap lingkungan diantaranya adalah lenyapnya vegetasi alam serta flora dan fauna yang unik dan akan menjadi sangat berbahaya apabila mengalami kepunahan yang total pada sebagian besar kawasan di Indonesia.

Pembukaan lahan gambut akan menghilangkan fungsi hutan gambut sebagai pemasok baha-bahan yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan dan daging satwa, rotan, getah dan tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh masyarakt lokal. Pembukaan lahan gambut juga akan menurunkan fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, satwa langka dan tumbuhan penting, komunitas dan ekosistem.

Pembuatan Kanal Drainase

Pembuatan kanalo drainae bertujuan unutk menurunkan muka air tanah dan mengatur tata air sehingga lahan tidak tergenang tetapi juga tidak kering. Akan tetapi pembuatan parit atau kanal merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut. Berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh adanya drainase yang berlebih sehingga berdampak pada pengeringan gambut.

Seperti diketahui bahwa tanah gambut bersifat irreversible dimana apabila mengalami pengeringan yang berlanjut akan mengakibatkan gambut tidak punya kemampuan lagi dalam mengikat air. Atau gambut tidak punya kemampuan lagi sebagai penyimpan air pada saat musim hujan dan melepasnya pelan pada musim kemarau. Pembukaan kanal-kanal drainase akan mengurangi fungsi lahan gambut sebagai pengendali higrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan mencegah banjir dan kebakaran.,

Penuruan muka air tanah juga akan mempercepat laju pemadatan tanah (subsidensi), sehingga akan mengurangi kemampuanya dalam menyimpan air. Penurunan muka gambut mambuat lahan menjadi amblas. Subsidensi gambut di lahan perkebunan kelapa sawit ditandai dengan rebahnya pokok sawit atau pokok doyong. Kondisi ini tentu merugikan kebun itu sendiri.

Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau tanah dengan sulfat masam dan intrusi air laut. Dampaknya adalah tanah dan perairan akan menjadi sangat masam, sehingga dapat meracuni tanaman yang ada di atasnya.

Kebakaran Lahan

Fakta bahwa terjadi kerusakan gambut terindikasi dari adanya pembukaan lahan dengan cara bakar. Hal ini lumrah dilakukan pada pada awal tahun 1990, yang sangat jelas tercantum dalam panduan-panduan sistem pembukan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, misalnya yang ditulis oleh Pangudijatno (1989) dalam buletin Perkebunan Vol 20 (3), yang kemudian diadopsi oleh perusahaan perkebunan dalam menjalankan kegiatannya.

Kejadian kebakaran lahan gambut sudah sering terjadi, bahkan baru-baru ini yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir di areal kebun K2I yang merupakan proyek Pemerintah Propinsi Riau Kejadian kebakaran lahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap ekonomi maupun lingkungan. Dari sisi tanah, sifat fisik gambut akan rusak, dari sisi udara terjadi pencemaran udara. Dampak dari kebakaran lahan adalah setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap yang menyesakan. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang kontroversial.

Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hot spots (titik panas) terjadi di lahan gambut

Pembukaan lahan gabut dengan cara mebakar, rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilang kemampuan menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar

Emisi Gas Rumah Kaca.

Lahan gambut menghasilkan gas rumah kaca berupa CO2, Gas Methan.(CH4) dan nitrus oksida (N2O). Emisi gas tersebut akan meningkat seiring dengan menurunnya tinggi muka air tanah akibat drainase yang berlebih. Tanah gambut menyimpan karbon dalam jumlah yang cukup banyak yaitu sekitatr 3771 ton/ha. (Melling et al, 2007). Selanjutnya bedasarkan penelitiannya di Mukah, Sarawak Malaysia, bahwa pada lahan gambut dengan vegatasi tanaman kelapa sawit akan menghasilkan emisi karbos (CO2) sebanyak 1.540 g C/m2/tahun. Sebaliknya tanaman kelapa sawit di lahan gambut selam lima tahun akan menyimpan karbon sebanyak 27 ton C/ha., yang disumbangkan dari batang, pelepah dan akarnya.




Pengelolaan air merupakan faktor utama yang dapat mengontrol laju oksidasi. Dari inkubasi bahan gambut selama 7 hari mendapatkan emisi CH4 dari gambut yang telah didrainase dalam suasana anaerob melepaskan 4500 ng CH4/gram bahan gambut segar, sementara dari gambut alami hanya 10 ngCH4/gram Selanjutnya berdasarkan perhitungan tersebut diestimasi dalam kondisi anaerob bahwa gambut dengan ketebalan 1 meter akan melepaskan CH4 sebesar 1,10 mg/m2/jam dan CO2 sebesar 71,9 mg/m2/jam (Chapman dkk, 1996 dalam Barchia, 2006).

Kandungan karbon lahan gambut di Pulai Sumatera pada tahun 1990 sekitar 22.283 juta ton dan pada tahun 2002 tinggal sekitar 18.813 juta ton atau telah mengalami pelepasan sebanyak 3.470 juta ton atau 15,5 % dari total karbon Pulau Sumatera (Wahyunto dkk, 2005 dalam Bruchia, 2006). Pengurangan ini diakibatkan oleh adanya aktivitas pembukaan lahan gambut untuk berbagai keperluan.
Seperti telah dibahas di bagian atas, pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
3.2.2. Dampak terhadap Ssosial Ekonomi

Secara ekonomi pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat dalam mingkatkan devisa negara, meningkatkan perekonomian daerah, meningkatkan kesempatan kerja dan peluang berusaha. Kondisi saat ini kelapa sawit merupakan komoditi andalan dan merupakan industri yang tetap bertahan pada saat terjadi krisis ekonomi.

Sebagai gambaran penggunaan tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit menggunakan norma 0,2 HK (hari kerja)/hektar lahan. Apabila luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 100.000 ha maka tenaga yang bekerja langsung di sektor tersebut sebanyak 20 ribu orang, belum lagi tenaga yang bekerja secara tidak langsung karena adanya kegiatan perkebunan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan gesekan-gesekan sosial seperti kecemburuan sosial, konflik lahan baik perorangan maupun hak-hak ulayat/adat. Pembukaan hutan gambut akan menghilangkan mata pencaharian penduduk lokal yang biasa mengandalkan kehidupannya dari hutan gambut tersebut. Dalam prinsip pembangunan berkelanjutan faktor sosial sangat penting untuk diperhatikan, sehingga terjadi sinergi antara masyarakat lokal dengan pelaku usaha.

Tidak ada komentar: