Selasa, 14 Oktober 2008

MENATA KAWASAN LINDUNG SETEMPAT
SEMPADAN SUNGAI

Oleh Wiwik Widiati
Ast. Sistem Manajemen Lingkungan
PTPN V- Pekanbaru

The riparian buffer area (sempadan sungai) is a strip of land that is “sacrificed” to protect the riparian area itself from the pollutants impact, nutrients and other edge effects such as water filtration, erosion and flood control

River, stream and its runs, has been identified flow accros estate. The usage of buffer area has been practiced by company as the effort either as land optimalitation or to protect the assest. The need to be a Sustainable oil palm industry, should drive company to keep natural systems by arranging a comprehensive land usage conservation program to undo damage caused by past practices, restoring landscapes and greening it to its originally, without management intervention, the buffer river have no chance of recovering.

An effective width for the buffer area has been determined by the law, to ensure the buffer river is wide enough to prevent transported sediments entering the river.

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daerah di sekitar suatu sungai, dimana curah hujan (run off) di kawasan tersebut mengalir ke sungai. DAS merupakan satu kesatuan ekosistem, dengan unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi dan manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut.

Saat ini pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di suatu kawasan DAS sangat beragam dan cenderung tidak tertata baik sesuai dengan fungsi, kemampuan dan daya dukung lahannya. Kegiatan sektoral, seperti pengembangan areal perkebunan telah merubah tatanan hutan yang bersifat polikultur menjadi tanaman monokultur. Tutupan hutan sebagai faktor utama yang akan menjaga keseimbangan tata air pada suatu kawasan DAS terus mengalami penurunan, kondisi ini akan sangat mempengaruhi keseimbangan fungsi hidrologis dari suatu DAS.

UU no 19 Tahun 2004 tentang kehutanan menyebutkan bahwa dari suatu luasan DAS, maka kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % dengan sebaran yang proporsional dan mempertimbangkan optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat, serta pertimbangan geografis Indonesia yang memiliki iklim dengan curah hujan yang tinggi yang akan bersinergi dengan daerah yang bergelombang, berbukit, bergunung, yang sangat peka terhadap keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi serta kekeringan air.

Perkebunan kelapa sawit paling tidak telah ikut memberikan andil terhadap terjadinya perubahan siklus hidrologis dengan adanya fluktuasi debit air sungai yang besar antara musim hujan dan musim kemarau, yang selanjutnya berakibat pada meningkatnya intensitas banjir, erosi, sedimentasi. longsor dan kekeringan.

Sumber: PTPN V
Sempadan Sungai Sei Tapung Kiri

Secara umum penataan ruang di areal perkebunan kelapa sawit belum sepenuhnya mengalokasikan sebagian lahannya untuk areal konservasi, bahkan areal sempadan sungai yang merupakan kawasan lindung setempat, telah ditanami dan dijadikan areal produktif ditanami kelapa sawit, dengan berbagai argumentasi seperti optimalisasi lahan, pengamanan dari penjarahan lahan dsb. Hal ini tentu saja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelamatan DAS tidak terlepas dari penyelamatan fungsi dan peruntukan sempadan sungai. Saat ini, upaya pemulihan, pengamanan areal sempadan sungai serta kawasan resapan air (catchment area), menjadi fokus perhatian para stake holder maupun share holder. Seperti kebijakan Pemerintah Prop. Riau dalam melakukan penataan Kawasan DAS melalui Konsep Skenario Riau Hijau Tahap Pertama (2005 -2020), maupun Program Minyak Sawit Lestari (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang memasukkan pengelolan sempadan sungai dalam salah satu Prinsip dan Kriterianya.

Mengapa Sempadan Sungai?

Sempadan sungai, didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai termasuk sungai buatan/kanal/ saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi sungai. Daerah sempadan mencakup daerah bantaran sungai yaitu bagian yang hanya tergenang air pada musim hujan dan daerah di luar bantaran yang akan menampung luapan air sungai di musim hujan dan memiliki kelembaban tanah yang lebih tinggi.

Di daerah bantaran banjir, sempadan sungai merupakan satu kesatuan daerah ekologi dan hidrolis sungai yang penting, tidak dapat dipisahkan dengan badan sungainya. Adanya kegiatan di atas kawasan sempadan sungai menyebabkan gangguan dan rusaknya sistem ekologi dan hidrolisnya. Secara hidrolis sempadan sungai berfungsi untuk mengurangi kecepatan air ke hilir, sehingga energi air di sepanjang sungai dapat diredam, dan erosi pada tebing dan dasar sungai dapat dikurangi secara simultan.
Sempadan sungai juga merupakan daerah tata air sungai, membantu terjadinya penyerapan aliran air hujan ke dalam tanah. Keberadaan vegetasi di areal sempadan sungai, merupakan retensi alamiah yang akan membantu tanah untuk menyerap aliran air hujan, sehingga mengurangi volume air yang mengalir ke sungai dan mencegah terjadinya banjir dan erosi. Secara ekologis, vegetasi sempadan sungai secara alami mendapatkan pupuk dari proses sedimentasi berkala dari hulu dan tebing, selanjutnya akan menjadi pemasok nutrisi komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini mendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka hulu-hilir.

Rawa-rawa yang dipertahankan sebagai sumber air

Vegetasi kawasan sempadan sungai selain merupakan habitat berbagai jenis biota sungai, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu air, yang menyebabkan kematian biota perairan karena kekurangan oksigen.

Dasar Hukum

Kawasan sempadan sungai termasuk ke dalam kawasan lindung setempat yang keberadaanya harus dipertahankan. Payung hukum yang melandasi keberadaannya al.:
1. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
2. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.
3. PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
4. Kepres RI No. 32 Tahun 1990 tentang Pengolahan Kawasan Lindung.


Hutan yang dipertahankan sebagai Kawasan Lindung Setempat

Berdasarkan hal tersebut di atas, kawasan sempadan sungai ditetapkan sebagai kawasan lindung, dengan ketentuan sbb.
1. Sekurang-kurangnya 100 meter kanan kiri sungai besar
2. Sekurang-kurangnya 50 meter kanan kiri sungai kecil/anak sungai besar.
3. Kawasan sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m;
4. Kawasan sekitar mata air dengan radius 200 m;

Yang dimaksud sungai kecil adalah sungai dengan lebar <> 30 m.
Pengembalian peruntukan sempadan sungai sebagai kawasan lindung akan memberi manfaat ekologis dari hulu hingga muara sungai. Hasil penelitian di Amerika memperlihatkan bahwa lebar sempadan sungai yang bervegetasi paling sedikit adalah 33,3 meter untuk menghasilkan pengurangan yang berarti dari kandungan zat pencemar ke sungai. Sedangkan untuk mencapai naungan sungai yang maksimal dibutuhkan lebar sempadan 26,6 meter di kedua sisi sungai.

Menurut Kern (1994) dalam Maryono (2005) sungai dapat diklasifikasikan sbb.:

Sungai Kecil : < 1 m
Kali kecil : < 1 – 10 m
Sungai Menengah
Sungai Kecil
Sungai Menengah
Sungai
10 – 20 m
20 – 40 m
40 – 80 m
Sungai Besar
Sungai Besar
Bengawan
80 – 220 m
> 220 m
Sumber: Kern 1994, dalam ( Maryono 2005)

Kawasan Perlindung Setempat di areal Perkebunan Kelapa sawit

Beberapa areal tanaman perkebunan kelapa sawit telah diidentifikasi tidak saja hanya dilalui oleh sungai dan anak sungai, akan tetapi juga dijumpai adanya kawasan rawa/sumber mata air yang harus dipertahankan dan bahkan dijaga keberadaannya, mengingat fungsinya sebagai penyedia air untuk mendukung kebutuhan air proses pabrik maupun untuk memenuhi kebutuhan domestik karyawan.

Menurut Balai DAS Dept. Kehutanan, di Propinsi Riau terdapat 4 DAS utama, yaitu DAS Siak, DAS Kampar, DAS Rokan dan Das Indragiri. Di dalam Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS, terdapat berbagai kegiatan perusahaan perkebunan kelapa sawit baik BUMN maupun Swasta


Pengkatagorian dan pencirian secara lebih rinci terhadap seluruh kawasan lindung setempat yang berada di areal perkebunan kelapa sawit, sangat diperlukan untuk membedakan antara kawasan DAS, rawa-rawa/sumber mata air maupun hutan lindung (atau preservation area?), dengan mengacu pada peraturan yang ada, agar tidak terjadi salah persepsi sehingga akan memudahkan dalam pengelolaannya.

Pemulihan/Pengelolaan Kawasan Sempadan Sungai

Tingginya tingkat konversi lahan sempadan menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perkebunan harus diimbangi dengan peningkatan upaya dan dukungan manajemen dalam melestarikan dan memulihkan kawasan sempadan sungai.

Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mengembalikan peruntukan lahan sempadan sungai menjadi kawasan lindung setempat dapat dilakukan dengan cara sbb.:

1. Melakukan inventarisasi lokasi, luasannya serta dipetakan. Dilaksanakan tidak hanya pada kawasan sempadan sungai, akan tetapi termasuk juga daerah rawa-rawa dan sumber mata air, termasuk istilah hutan lindung yang harus diganti dengan istilah hutan yang dipertahankan.

2. Mengembalikan areal sempadan sungai sesuai peruntukkannya, yaitu untuk memulihkan fungsi hidrologisnya, yaitu dengan meningkatnya kemampuan sungai untuk menampung luapan air di saat musim hujan, serta untuk memulihkan fungsi ekologis sungai.

3. Pada saat replanting, tanaman yang sudah tidak produktif yang berada pada areal sempadan sungai tidak perlu ditumbang, tetapi ditinggalkan, kemudian dilakukan penyisipan dengan dengan jenis tanaman non perkebunan.

4. Untuk kawasan sempadan sungai yang vegetasinya telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit, maka dapat dilakukan melakukan penyisipan dengan jenis tanaman tertentu (kayu-kayuan) sebagai tanaman sela. Dengan tetap harus memperhatikan kenekaragamannya

5. Jenis-jenis tanaman yang dipilih diutamakan pada keanekaragaman jenisnya, dengan produk hasil hutan non kayu (HHNK), sehingga akan dihasilkan aneka komoditas yang memiliki nilai ekonomis, seperti :
· Jenis pohon sialang seperti Kedundung Batu, Balau, Kruing, dan Ara, selain merupakan tanaman lokal khas Prop. Riau, juga merupakan tempat bersarangnya lebah madu hutan,

· Jenis pohon yang dapat menghasilkan getah dan resin

· Jenis pohon yang dapat menghasilkan buah-buahan seperti durian, sukun, lada, pala, jambu mente atau jenis lainnya.

· Jenis pohon yang dapat menghasilkan rempah-rempah seperti kayu manis, cengkeh atau jenis lainnya.

Pohon dan Madu Sialang diantara Tanaman Kelapa Sawit

PENUTUP
Alam telah memiliki mekanisme pemeliharaan air yang sangat efisien, murah dan perawatan yang mudah dalam bentuk daerah sempadan sungai. Mengembalikan fungsi sempadan sungai selain merupakan upaya preventif untuk menanggulangi banjir, longsoran tebing, dan erosi sungai juga akan membantu menjaga tingkat penyerapan air untuk mengisi air tanah untuk menjaga sumber air secara berkelanjutan.


DAFTAR BACAAN

Agus Maryono, Sekjen ASEHI, Peneliti Sungai, Banjir dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Menentukan Lebar Sempadan Sungai di Indonesia”

-------------------, 2005, Eko Hidroulik Pembangunan Sungai, Edisi 5, Magister Sistem Teknik Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.
Artikel, Menata Kawasan Lindung, Menuju Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari

Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Penertiban Penggunaan Lahan Sempadan Sungai Mutlak Dilakukan
Emrizal Pakis, Mm (Ka Bappeda Prop. Riau), Pembangunan Sumberdaya Hutan Dalam Pembangunan Wilayah Berkelanjutan dan Implementasinya Dalam Konsep Riau Hijau.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, Hutan Rakyat

Senin, 13 Oktober 2008

Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan serta Tanggung jawab Sosial Perusahaan

KEMISKINAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN SERTA TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
0leh : wiwik Widiati dan Santobri
(Pengurus Kompartemen Lingkungan GAPKI Cabang Riau)

I. Pendahuluan

Undang- Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, antara lain menjelaskan tentang visi pembangunan nasional yaitu ”terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Menurut Kuncoro Mudrajat (2007) untuk mencapai visi pembangunan nasional tersebut terdapat empat masalah dasar yang harus dipecahkan dalam jangka pendek dan menengah, antara lain pertama : relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pascakrisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun), kedua masih tingginya pengangguran (9–10%), ketiga tingginya tingkat kemiskinan (16–17%) di Indonesia, dan keempat rendahnya daya saing industri Indonesia

Dalam upaya mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut, serta dihadapkan pada empat permasalahan mendasar yang dihadapi Bangsa Indonesia, maka Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional, telah mengusulkan 3 misi utama industrialisasi yang bertujuan untuk tercapainya pembangunan jangka panjang nasional tersebut, antara lain pertama melalui Penurunan Angka Kemiskinan dan pengangguran, melalui peningkatan kesempatan kerja dan berusaha; kedua Peningkatan Daya Saing Industri Nasional; dan ketiga Pertumbuhan Ekonomi dengan Peningkatan Ekspor Produk Olahan Bahan Baku Migas dan Nonmigas (Kadin Indonesia dalam Mudrajat, 2007).

Sejalan dengan pikiran di atas, upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai melalui pembangunan ekonomi, yang bermodalkan pada sumber daya alam dengan tujuan dapat memberikan manfaat ekologis, manfaat ekonomi dan manfaat social. Di sisi lain eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran berdampak negatif pada terjadinya degradasi lingkungan baik lingkungan fisik, ekonomi maupun budaya.

Kegagalan atau ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam beradaptasi terhadap proses pembangunan ekonomi serta ketidaksiapan negara untuk mengantisipasi degradasi lingkungan yang terjadi, telah menimbulkan permasalahan baru berupa permasalahan ekonomi dan sosial-budaya yang akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Munculnya opportunity cost baik bagi masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak seperti air bersih atau pengelolaan udara dan air yang tercemar, mengatasi banjir dan kekeringan, longsor serta bencana alam lainnya, akan diikuti dengan krisis sosial-budaya masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut, seperti gangguan kesehatan, menurunnya tingkat kesejahteraan, pengangguran dan juga kemiskinan..

II. Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri (Azhar, 2003)

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial (Riyanto, 1999). Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah.

Menurut Panayatou (2000) dalam Hadi (2007), pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada degradasi lingkungan. Alasan pertama penyebabnya adalah kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi dan penyebab kedua adalah keterbatasan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui.

Proses pembangunan ekonomi yang diikuti dengan kerusakan lingkungan, serta adanya masyarakat yang terpinggirkan disebabkan karena ketidakberdayaan bahkan kegagalan untuk beradaptasi terhadap perubahan, telah mengakibatkan timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, pengangguran dll. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif dan saling berbalik. Kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Atau pun kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan yang terjadi pada periode sebelumnya.

Hubungan sebab akibat tersebut dapat terus berlanjut membentuk siklus yang tidak berujung. Pada kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Sehingga status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali, demikian pula kecenderungan yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan. Hal ini ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam.

Beberapa kejadian bencana alam seperti banjir, longsor dan bencana alam lainnya mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh perbuatan tangan manusia dalam bentuk eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang tidak terbatas. Sehingga terjadi hubungan sebab akibat dalam bentuk kemiskinan dan kerusakan lingkungan serta kerusakan lingkungan yang berakibat pada kemiskinan.

Program pembangunan ekonomi yang digulirkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, masih belum menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting, sumberdaya alam dipaksa untuk memberikan pertumbuhan ekonomi hingga melampaui daya dukungnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan, adalah mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta mengedepankan keadilan sosial. Sehubungan dengan pokok pikiran tersebut, maka badan usaha baik milik negara (BUMN) maupun swasta nasional (PBSN) yang bergerak di sektor jasa maupun industri manufaktur, harus dilibatkan dalam proses pembangunan sosial untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat sekitar. Logika yang dibangun dalam hal ini adalah bahwa suatu industri untuk keberlanjutan usahanya tidak cukup hanya didukung oleh sumberdaya alam yang berlimpah serta teknologi sebagai penunjang. Lingkungan fisik tempat berusaha yang bebas dari bencana alam serta lingkungan sosial masyarakat yang sejahtera bebas dari kemiskinan sangat diperlukan dan sangat berpengaruh dalam menjamin kelangsungan hidup perusahaan.

III. Corporate Social Responsibility dan Dasar Hukumnya

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dan pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial budaya yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku. (Riyanto, 1999).

Menurut Hadi (2006) Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat dengan perusahaan yang disebabkan karena dominasi kekuatan, akan menimbulkan konflik yang tidak setara. Biasanya akan ditandai dengan keluhan masyarakat terhadap perusahaan dengan berbagai isu yang digulirkan seperti isu lingkungan, isu penyerobotan lahan, isu ketenagakerjaan dll. Sehingga bila tidak disikapi akan timbul kesalahan dalam pandangan masing-masing pihak, perusahaan menganggap bahwa masyarakat hanya mencari-cari perkara supaya memperoleh kompensasi, sementara sikap bertahan perusahaan akan dipandang sebagai sikap yang mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan masyarakat dan lingkungannya.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), mensyaratkan bahwa pemerataan adalah unsur penting dalam pembangunan. Dalam proses pembangunan lebih dari 30 tahun persentasi rakyat yang naik dari garis kemiskinan telah bertambah, tetapi jumlah absolut rakyat yang masih ada dibawah garis kemiskinan masih besar. Selain itu kesenjangan antara golongan yang kaya dengan yang miskin juga bertambah, oleh karean pertumbuhan ekonomi golongan kaya lebih cepat dari golongan miskin.

Menurut Soemarwoto (2004), di dalam ekologi terdapat hukum yang menyatakan apabilo dua ekosistem yang berbeda tingkat perkembangannya berhubungan satu sama lain, terjadilah tukar menukar materi, energi dan informasi antara keduanya. Tetapi arus tukar menukar materi, energi dan informasi itu asimetris, yaitu arus dari kosistem yang lebih berkembang ke yang kurang berkembang lebih kecil dari yang sebaliknya. Jadi yang lebih berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hubungan itu dibanding dengan ekosistem yang kurang berkembang. Dalam ekologi dikatakan bahwa ekosistem yang kurang berkembang dieksploitasi oleh yang lebih berkembang, karena sistem yang lebih berkembang dapat menguasai arus informasi, baik jenis, besar maupun waktunya. Dengan penguasaan arus informasi, ia juga akan menguasai arus materi dan energi.

Misalnya sebuah perusahaan (dianggap ekosistem yang lebih berkembang) akan membuka proyek perkebunan di Propinsi Riau. Proyek tersebut menciptakan peluang lapangan pekerjaan baru secara langsung yaitu untuk dipekerjakan di proyek, maupun tidak langsung melalui efek gandanya seperti warung dan transport. Tetapi penduduk lokal (diangap ekosistem yang kurang berkembang) tidak melihat atau tidak dapat menggunakan kesempatan itu karena tidak mempunyai keterampilan atau dan modal yang diperlukan. Dermikian juga efek ganda sebagian besar dimanfaatkan oleh para pendatang.

Sebaliknya resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal adalah besar antara lain hilangnya sumber mata pencaharian, ketegangan sosial dan pencemaran. Misalnya lahannya terkena proyek pembanguan perkebunan, maka dia akan kehilangan pekerjaan dan pendapatanya, sementara lahannya tidak mendapatkan ganti rugi yang memadai bahkan tidak dapat sama sekali. Dengan datangnya orang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, kenaikan kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan yang berbeda antara pendatang dan penduduk lokal, terjadilah ketegangan sosial. Konsentrasi buruh yang terpisah dari keluarganya sering menimbulkan masalah prostitusi dan perjudian, yang selanjutnya meningkatkan kriminalitas. Kepadatan penuduk yang tinggi tanpa disertai perbaikan ketersediaan air dan sarana sanitasi, meningkatkan terjadinya penyakit menular. Itulah resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal.

Masalah itu tidak dapat dibiarkan dan perlu diambil suatu tindakan. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan usahanya, perusahaan juga dituntut untuk memiliki tanggung jawab sosial dalam rangka secara bersama-sama ikut membangunan ekonomi masyarakat di sekitar tempat usahanya. Dengan tujuan kesejahteraan masyarakat disekitar perusahaan akan meningkat sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan perusahaan. Dampak ini semua akan menciptakan iklim yang cukup kondusif bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau dikenal dengan instilah Corporate Social Responsibility (CSR) dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.

Dalam Konsep CSR, sesungguhnya kepentingan perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi, yang berimplikasi pada keputusan bisnis dan kebijakan sosial perusahaan harus mengikuti prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.

Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang akan menjadi payung hukum mengatur pelaksanaan CSR oleh perusahaan a.l sbb.:
· Pasal 2 berbunyi, ”......... tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran......”
· Pasal 74 Ayat 1 menyatakan, bahwa ” ....... perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR....”

Sejalan dengan istilah tanggung jawab sosial perusahaan, maka Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan seluruh BUMN-BUMN menjalankan program pengembangan masyarakat yang setara dengan CSR dan lebih dikenal sebagai Community Development (CD), melalui SK Meneg BUMN Nomor : KEP-236/MBU/2003 tentang program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, serta Surat Edaran Menteri Negara BUMN nomor : SE-433/MBU/2003, tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

IV. Implementasi CD/CSR oleh Perusahaan

Pemahaman terhadap CD/CSR di kalangan perusahaan memang masih rendah. Bahkan, program CD/CSR seringkali disejajarkan dengan hubungan masyarakat (humas). CD secara fungsional lebih kepada bagaimana membina lingkungan sekitarnya dengan program yang dibuat, sehingga tercipta hubungan harmonis dan saling memahami baik masyarakat terhadap keberadaan perusahaan, maupun sebaliknya. Sedangkan humas lebih menitikberatkan kepada bagaimana membina hubungan baik semata dengan pihak lain.

Bagi perusahaan BUMN, tanggung jawab sosial perusahaan diwujudkan dalam bentuk bina lingkungan/CD yang sudah diatur melalui Keputusan Menteri BUMN No. Kep 236/MBU/2003 yakni "BUMN wajib melaksanakan program kemitraan BUMN dengan Usaha Skala Kecil dan program bina lingkungan". Tujuan utama program CD itu yakni partisipasi BUMN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan, pemerataan pembangunan, dan perluasan lapangan kerja serta pemberdayaan masyarakat meningkat.
Masih kurangnya pemahaman perusahaan baik BUMN maupun swasta terhadap CD, serta di kalangan pemerintah, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah (otda), mengakibatkan pemerintah daerah seringkali berusaha agar dana CD dimasukkan dalam APBD untuk dikelola oleh pemda.

Dalam penerapan program Community Development (CD), secara moral, perusahaan mewujudkan eksistensinya membina lingkungan tidak hanya melalui keputusan teknis saja, akan tetapi juga melalui berbagai pendekatan, baik pendekatan sosial, psikologis, budaya, serta keagamaan, sehingga akan tercermin bahwa keberadaan perusahaan telah membawa perbaikan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Penerapan CSR di lingkungan BUMN dalam bentuk Program Bina Lingkungan (PKBL) atau Community Development (CD) bersifat wajib (mandatory), dengan besarnya dana yang dialokasikan adalah berkisar antar 1 - 4 % dari keuntungan bersih perusahaan. Kegiatan program Community Development (CD) oleh bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan tidak dilakukan sendiri oleh perusahaan, akan tetapi melibatkan dinas terkait.

Di sisi lain penerapan CSR oleh perusahaan swasta masih bersifat sukarela (voluntary), sehingga wajar bila penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masing-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, kontribusi dunia usaha diharapkan terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jenis bantuan yang diberikan bukan dari jumlah atau besarnya nilai, melainkan dari segi keefektifan serta kualitas dan pendekatan yang humanis agar semua bantuan memberikan manfaat bagi masyarakat penerima bantuan. Pemberian langsung dana bantuan CD oleh perusahaan dapat dilaksanakan dalam bentuk pembangunan prasarana dan sarana umum, bantuan sarana ibadah, peningkatan kesehatan masyarakat, bantuan pendidikan masyarakat dalam bentuk pemberian beasiswa dan mengangkat anak asuh, pelestarian seni budaya setempat, kegiatan olahraga, dan bantuan pengingkatan keamanan lingkungan.

Kombinasi pemberian bantuan langsung dalam bentuk modal kerja serta bantuan tidak langsung kepada masyarakat di sekitar lokasi perusahaan dapat diwujudkan dalam bentuk pelatihan secara berkesinambungan, dalam bentuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam yang ada serta potensi masyarakat itu sendiri.


BAHAN BACAAN


Anonim. 2005. Di Kalangan Birokrat Maupun Pimpinan Perusahaan Rendah, Pemahaman Bina Lingkungan, Harian Umum Pikiran Rakyat (Senin 9 Mei 2005)

Azhar. 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. Universitas Sriwijaya,Palembang.
Daniri Mas Achmad, Ketua National Mirror Committee on Social Responsibility & Maria Dian Nurani Anggota National Mirror Committee Social Responsibility. http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/1id15040.html

Hadi, Suharto P. 2006. Resolusi Konflik Lingkungan, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Mudrajad, K. 2007. Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?, Sumber: Seputar Indonesia, http://www.seputar-.com/edisicetak/periskop/visi- Indonesia, -2030-quo-vadis-3.html, Sabtu, 18/08/2007

Riyanto, Eggi Sudjan. 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektif Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara dari Bogor, Membangun Sistem Agribisnis. Penrbit Yayasan USESE bekerjasama dengan Sucofindo, Jakarta.

Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Eskploitasi Hutan dan Bencana lLngkungan

PEMBANGUNAN, EKSPLOITASI HUTAN DAN BENCANA LINGKUNGAN
DI PROPINSI RIAU
Oleh : Santobri *)

PENDAHULUAN

Makna hakiki dari pembangunan adalah menjadikan lebih baik. Pembangunan telah berkembang jauh dari hanya sekedar konsep namun telah menjadi visi, teori dan juga proses. Dikenal ada dua model utama pembangunan yaitu model kapitalis dan model sosialis. Kaum developmentalis yakni bahwa negara maju yang kapitalis adalah bentuk ideal dari sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Pembangunan ekonomi merupakan syarat bagi demokrasi. Industrialisasi akan melahirkan kekayaan dan kesenangan, maka kemudian orang akan mau berpartisipasi dalam politik, dan ujungnya kebebasan melahirkan demokrasi. Pembangunan bermakna sebagai industrialisasi, yaitu pergeseran aktivitas produksi dari semula dominan di bidang pertanian dan produksi barang mentah, ke aktivitas industri (Syahyuti, 2006)

Dalam penerapannya konsep di atas belum sepenuhnya berjalan. Banyak pihak sepakat bahwa permaslahan utama kegagalan teori pembanguan adalah karena ideologi pembangunan yang kita anut bersifat ideologi pembangunan kapitalis barat yang sempit. Di sini pembangunan dimaknai sebagai perkembangan ekonomi saja, yaitu produksi barang dan jasa dari masyarakat, dengan indikator pendapatan, GNP, GDP dll. Seluruh indikator ini seharusnya baru merupakan bagian, belum menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mewujudkan pembangunan sejati.
[1]
Pembangunan juga bagaikan dua mata pedang, dimana pembanguan itu dibutuhkan untuk kesejahteran manusia di sisi lain pembangunan bisa berdampak negatif terhadap lingkungan, yang ujung-ujungnya juga mengancam terhadap kesejahteraan manusia itu sendiri.
Pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan dampaknya dapat dirasakan di propinsi Riau saat ini. Berbagai kegiatan pembangunan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi seperti pembangunan industri perkebunan dan hutan tanaman industri yang telah mengkonversi hutan alam berdampak sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang konon pertumbuhan ekonomi di Propinsi Riau mencapai 8 % di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 6 %. Namun dibalik itu semua juga telah meluluh lantakan hutan alam Riau yang selanjutnya menimbulkan berbagai bencana alam maupun bencana kemanusiaan sebagai mana diuraikan di bawah ini.


KONSERVASI HUTAN ALAM MENJADI TANAMAN MONOKULTUR

Kejadian memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi hutan secara masif sejak tahun 1980-an. Setelah ratusan ribu hektar hutan dilepaskan kepada pengusaha HPH, pemerintah kemudian melakukan politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha sawit dan HTI.

Pada saat yang bersamaan, akhir tahun 90-an kebutuhan dunia akan CPO (minyak sawit) semakin meningkat, ditambah ambisi dua industri pulp dan paper menjadi eksportir kertas terbesar dunia plus keinginan Pemerintah Daerah untuk memperluas perkebunan kelapa sawit menjadi 2,5 juta hektar yang ditargetkan, terjadilah simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha yang pada akhirnya meluluh lantakan tutupan hutan alam Riau.

Pengembangan dan perluasan kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri, membuat sebagian orang menangguk rezeki sekaligus menyisakan nestapa bagi sebahagian yang lain. Selain ”penyerobotan tanah” oleh perusahaan, persoalan lain adalah rusaknya lingkungan. Perkebunan kelapa sawit maupun HTI seringkali memasuki wialayh teritorial masyarakat sehingga menimbulkan konflik yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Konflik tersebut tidak jarang melibatkan satuan pengamanan swasta dan atau kepolisian untuk melakukan penyelesaian yang seringkali berakhir dengan korban jiwa. Di masa lalu, keterlibatan militer sebagai tenaga pengamanan juga tidak terlepas dari sektor ini.

Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau pada dasarnya telah mencapai titk jenuh dan melebihi carriying capacity. Dikatakan jenuh karena industri ini telah memasuki kawasan dengan tingkat kerentanan ekologis yang tinggi. Disamping memasuki kawasan-kawasan produktif masyarakat, perkebunan kelapa sawit juga memasuki kawasan gambut.

Menurut Andiko (2006), kondisi seperti di atas adalah akibat dari suatu kebijakan yang berpihak pada pembangunan perkebunan skala besar, dimana hukum dan peraturan dibuat untuk mendorong pembangunan perkebunan. Walaupun dibuat untuk memastikan keamanan investasi, perencanaan yang terkoordinasi, kepentingan umum dan penyelesaian konflik tumpang tindih hak, namun hukum dan peraturan tersebut sedikit sekali memuat ketentuan pengukuhan status hak terhadap hak-hak dan kepentingan komunitas. Seringkali hukum memperlakukan apa yang ada kenyataannya adalah tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai tanah negara.












KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Didasarkan pada kebutuhan dunia, ambisi pemerintah, dan nafsu pengusaha untuk memperoleh keuntungan dengan biaya murah, maka pembersihan lahan dengan pembakaran pun dipraktekan. Sayangnya praktek pembukan lahan dengan biaya murah tersebut tidak mempertimbangkan kerugian yang tercipta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2003 saja WALHI Riau mencatat hanya dalam waktu sepuluh hari (2-12 Juni 2003) adalah lebih dari 2400 titik api tersebar di 57 perusahaan perkebunan dan HTI dengan luasan yang lebih dari 50 ribu hektar. Total kerugian langsung mencapai 19 milyaran rupiah lebih, tidak termasuk variabel transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan panen dan peningkatan penderita ISPA akibat asap.

Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian akibat terjadinya erosi karena tanah 20-30 kali lebih peka dibanding dengan daerah hutan yang tidak terbakar, terjadinya percepatan perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan hilangnya berbagai bibit benih tumbuhan dan fauna di lantai hutan, mempercepat penghilangan biomasa lantai hutan, mempercepat pencucian hara tanah, terjadinya banjir dan pulisi udara dan air.

Asap adalah ritual tahuan bencana di Riau. Menjadi ritual karena terjadi setiap musim tanam dan musim kering. Menjadi ritual karena hampir seluruh pihak di Riau mengganggapnya sebagai suatu hal yang lumrah dan menajdi bagian dari ritme kehidupan yang harus dilalui. Padahal lagi, asap yang ditimbulkan dari kebakaran/pembakaran lahan telah menimbulkan kerugian milaran rupiah setiap tahunnya. Yang lebih aneh, sejak dinobatkan menjadi propinsi penghasil asap terbesar di Indonesia, upaya pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi ini tidak memperlihatkan kemajuan yang berarti. Selalu saja bergelut dengan permasalahan klasik, seperti kekurangan dana dan peralatan.

Sejumlah dampak tersebut di atas tentunya harus menjadi perhatian agar nominal kerugian yang tercipta tidak terus membesar. Namun lagi-lagi ada kelemahan mendasar yaitu lemahnya penegakan hukum. Walaupun sudah ada bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan LC yang dilakukan oleh perkebunan merupakan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, namun pemerintah tidak melakukan apa-apa. Kata-kata ditindak tegas hanya sekedar lips service tanpa pernah ada tindak lanjutnya.

Yang terlihat selama ini adalah pemerintah baru sibuk ketika kebakaran telah terjadi. Itu pun setelah menuai protes dari negara tetangga, sehingga terkesan langkah-langkah yang diambil hanya untuk menyenangkan hati negara tetangga walaupun jelas-jelas pelaku pembakaran tersebut justru perusahaan negara tetangga itu pula.


ILLEGAL LOGGING

Secara faktual, penebangan liar pasti diketahui masyarakat luas dan oknum petugas keamanan, karena pola, struktur dan lintasannya relatif sama. Kalau ada argumen pemerintah atau petugas keamanan tidak mengetahui, rasanya sangat sulit untuk dipahami.

Akar masalah illegal logging menurut Smith et al (2003) dalam Irianto (2006) terjadi karena korupsi sistematis yang kolutif, baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menyebar, persisten, mangakar, manahun dan sulit diberantas karena hampir semua lini menikmati dan memperoleh manfaat hasil jarahan. Perdagangan global kayu illegal menjadi multimillion trade sehinga banyak pihak mengais bisnis rejeki haram yang sebenarnya merupakan kejahatan kriminal terhadap hutan (forest crime). Pemerintah yang fragmented pasca kejatuhan rezim Orde Baru memperburuk keadaan karena setiap elite politik dan penguasa ekonomi mencari sumber-sumber pendanaan untuk merebut kekuasaan yang lebih besar dan hutan menjadi salah satu sumber dana potensial rebutan elite politik dan ekonomi.

Menurut berita diberbagai media massa baik lokal maupun nasional, banyak pejabat pemerintah di Propinsi Riau yang tersangkut hukum berkenaan dengan masalah illegal logging. Mereka menggunakan pengaruh dan dananya untuk memanipulasi kebijakan dengan menafaatkan kekacauan pemerintah untuk mengambil untung sebesar-besarnya. Pengusaha hutan yang oportunis merasa diuntungkan dalam jangka pendek dengan murahnya biaya produksi dan proses administrasinya sederhana sehingga secara bisnis menjadi sangat menguntungkan meskipun dalam jangka panjang menghancurkan recovery hutan alam, keragaman hayati, dan keberlanjutan usaha perkayuan itu sendiri. Dampak sosial yang sangat mengerikan dan sering kali muncul akibat illegal loging adalah intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal oleh oknum aparat.

Dampak lanjutan dari illegal logging adalah terjadinya banjir dan kekeringan dimana-mana, kapan saja. Diperkirakan hampir semua badan sungai yang ada di Propinsi Riau terancam mengalami pendangkalan. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota umumnya kurang peduli karena tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) dan justru sebaliknya.

Padahal di negara-negara maju seperti Prancis, Thailand, Cina dan Australias, tubuh air selalu dilindungi hutan alam dan buatan yang bagus sehingga selain dapat menghasilkan air juga dapat digunakan untuk pariwisata, listrik, perikanan darat.

UPAYA APA YANG HARUS DILAKUKAN

Memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas dapat disusun suatu rekomendasi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Riau yang berkelanjutan yakni melalui:
Kebijakan tentang manajemen tata ruang wilayah yang berkelanjutan
Fungsi pengawasan dan pengendalian harus dilaksanakan secara partisipatif diantara semua stakeholders termasuk masyarakat.
Dalam melaksanakan pembangunan secara umum harus tetap konsisten dan konsekuen terhadap konsep 8 jalur pemeratan yang jadi model pembangunan di Indonesia yaitu (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan (3) pembagian pendapatan (4) kesempatan kerja (5) kesempatan berusaha (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita (7) penyebaran pembangunan dan (8) kesempatan memperoleh keadilan.

Selanjutnya perlu dikembangkan pembangunan berdimensi kemanusiaan atau pembangunan berdimensi kerakyatan sebagai antitesis dari konsep dan teori pembangunan yang berorientasi produksi, dan menganut paham modernisasi dan industrialisasi. Konsep pembangunan berdimensi kerakyatan adalah merumuskan kebijakan pembangunannya dengan menjadikan rakyatnya sebagai pertimbangan utama.

Pemberdayaan publik dalam akses, kontrol, dan partisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan strategi dan pendekatan yang perlu diintensifkan dalam mengatasi penebangan liar akibat korupsi yang kolutif. Selain murah dan mudah, pengawasan masyarakat akan menjadikan hutan sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan ekploitasi hutan dan bencana lingkungan berkenaan dengan pencegahan, penanggulangan dan pemantauan dan rehabilitasi, yakni :
- Stop konversi lahan
- Melarang dengan tegas metode bakar dalam pembukan lahan
- Memberlakukan hukuman bagi penjahat lingkungan secara proporsional, dengan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak yang ditimbulkannya
- Mengembalikan fungsi kawasan sesuai RTRW.
- Penguatan LSM dan Media
- Mengembangkan program pemulihan hutan melalui pemberdayaan publik

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksploitasi sumberdaya alam berupa hutan dan lahan yang tidak dilakukan secara bijaksana, akan menimbulkan berbagai bencana, yang akhirnya menyulitkan kehidupan manusia itu sendiri. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri memang menciptakan sejumlah pekerjaan dan mendorong pertambahan pendapatan ekspor, akan tetapi juga dapat menjebak komunitas masyarakat untuk masuk dalam kemiskinaan dan bencana ekologi

Ekosistem yang tidak dikelola dengan baik akan membahayakan manusia karena mempertinggi resiko terjadinya banjir, kekeringan, kegagalan panen pertanian ataupun penyakit. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam yang terjadi secara akumilatif dan terus-menerus.
Degradasi ekosistem cenderung merugikan masyarakat pedesaan dibandingkan dengan masyarakat perkotaan dan lebih lanjut lagi dampaknya dirasakan oleh masyarakat miskin.

Pembangunan harus memperhatikan unsur berkelanjutan, dengan memperhatikan konsep 8 jalur pemerataan dan kosep pembangunan berbasis kerakyatan.











BAHAN BACAAN

Andiko. 2006. Catatan Perjalanan : Ketika Badai Sawit Mempertemukan; Catatan Si Perawa terhadap Buku Tanah yang Menjanjikan (Promise Land). http://my.opera.com/andikonsultanmancayo/archive/monthly/?month=200612. Tanggal berkunjung 30 Agustus 2007.
Atmakusumah, M. Iskadar & Warief D Basorie. 1996. Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Irianto, Gatot. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Penerbit Papas Sinar Sinanti. Jakarta.
Saragih, Bungaran. 2001. Suara Dari Bogor, Membangun Sistem Aghribisnis. Penerbit Yayasan USESE bekerjasama dengan Sucofindo, Jakarta.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Penerbit PT Bina Rena Pariwara. Jakarta.Wilches, G & InterWorks. 1995. Bencana dan Lingkungan Edisi ke 2. Program Pelatihan Bencana. UNDP-DHA.
[1] Mahasiswa SM I Tahun 2007/2008, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, UNRI