Rabu, 16 Maret 2011

Pentingnya Burung Hantu Sebagai Pengendali Hama Tikus Di Perkebunan Kelapa Sawit

Oleh : Santobri*)
Pekanbaru, 17 Maret 2011
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi penting lahan kering, yang memiliki peranan berarti dalam meningkatkan kesejahteraan petani di berbagai daerah di Indonesia. Kelapa sawit dengan multifungsinya yakni sebagai bahan baku makanan seperti minyak goreng tidak saja untuk minyak makan dan oleokimia tapi juga untuk energi telah menempatkan posisinya sebagai komoditi strategis.
Saat ini Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia (areal 6,78 juta hektar, produksi 17,37 juta ton), dengan total ekspor CPO dan turunannya tahun 2007 11,87 juta ton dengan nilai eskpor sebesar USD 7,87 milyar. Disamping menghasilkan devisa bagi negara, minyak sawit menyediakan bahan baku untuk industri dalam negeri, memberikan lapangan pekerjaan kepada lebih dari 4,5 juta orang serta menciptakan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah pedesaan (DMSI, 2008).
Lahan perkebunan kelapa sawit yang begitu luas membawa konsekuensi pada peluang rusaknya agroekosistem perkebunan, apabila dalam pembangunan dan pengelolaannya tidak memperhatikan aspek-aspek konservasi dan keberlanjutan. Isu-isu terhadap industri kelapa sawit yang dicap sebagai perusak lingkungan, penyebab deforestasi atau kerusakan hutan, penyumbang gas rumah kaca (CO2) akibat pembukaan lahan dengan bakar, dan lain-lain sangat berdampak pada pasar yang pada akhirnya akan mengganggu keberlanjutan usaha perkebunan itu sendiri. Untuk menepis itu semua tentu industri kelapa sawit harus mampu membuktikan bahwa dalam menjalankan usahanya selalu memperhatikan aspek konservasi sumberdaya dan lingkungan.
Tujuan utama dalam melakukan praktek budidaya perkebunan kelapa sawit adalah produksi yang memuaskan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan berkelanjutan. Untuk terus meningkatkan produksi tersebut dapat dicapai dengan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Upaya peningkatan hasil dewasa ini yang paling tepat adalah upaya intensifikasi, yaitu dengan mengoptimalkan praktek dan perlakuan budiaya yang tepat, efektif dan efisien. Seperti meningkatkan potensi media pertanaman, efisiensi lahan, penerapan best management practices, menjaga agar gangguan jasad pengganggu rendah atau tidak ada dan hasil tandan buah segar (TBS) dengan kualitas yang baik. Sedangkan upaya ekstensifikasi tidak disarankan karena tanah subur yang luasnya terbatas, atau terbatas karena kondisi sosial. Dampak ekstensifikasi dapat melebar ke wilayah-wilayah yang seharusnya tidak boleh dijamah: lereng-lereng pegunungan, wilayah penyangga air, wilayah dengan suksesi lambat; bahkan cagar alam dan kawasan hutan lindung dapat pula diubah-paksa menjadi wilayah tanah garapan
Salah satu tindakan yang nyata dalam mendukung upaya intensifikasi perkebunan adalah penerapan pengendalian hama terpadu. Walaupun sudah banyak dipublikasikan, akan tetapi masih banyak perkebunan yang belum menerapkan secara konsisten di areal usahanya secara menyeluruh.
Pengertian pengendalian hama terpadu (PHT) menurut UU No. 12 tahun 1991 tentang Buudidaya Tanaman dan PP No. 5 tahun 1996 tentang Perlindungan Tanaman adalah usaha untuk mengoptimumkan hasil pengendalian hama secara ekonomik dan ekologik, yang dapat dicapai dengan menggunakan berbagai taktik secara kompatibel agar tetap mempertahankan kerusakan hama di bawah aras kerusakan ekonomi, dan melindungi terhadap ancaman atau bahaya bagi manusia, binatang dan lingkungan.
Jenis organisme pengganggu tanaman (hama) yang umum di perkebunan kelapa sawit salah satunya adalah hama tikus. Spesies tikus yang paling dominan di perkebunan kelapa sawit adalah Rattus tiomanicus yang populasinya dapat mencapai 180 – 540 ekor per hektar (Wood & Liau, 1978 dikutip oleh Lim et al.,1993, Sipayung et al.,1987). Populasi tikus mampu berkembang pesat di perkebunan kelapa sawit karena tersedia makanan yaitu mesocarp buah yang melimpah. Selain itu berkurangnya peredator tikus seperti ular, akibat perburuan tak terkendali.
Selanjutnya dikatakan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh serangan tikus adalah buah rusak dapat mencapai 5 – 6 % dari total produksi TBS, kualitas minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang dihasilkan TBS yang digigit tikus akan berkurang sebagai akibat meningkatnya asam lemak bebas (FFA) dan timbul biaya tambahan untuk pengendalian tikus dengan rotasi 2 kali setahun bila dipakai umpan racun.
Pada umumnya penanggulangan serangan tikus di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan racun tikus atau rodentisida. Namun cara ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan dianggap tidak ekonomis. Pemakaian racun tikus membutuhkan banyak biaya dan tenaga kerja, karena harus rutin dua kali per tahun. Disamping itu efek samping racun tikus menyebabkan musuh alami punah, timbul resistensi hama dan dampak buruk lain terhadap lingkungan.
Pengendalian hama tikus dapat juga dilakukan secara biologi yaitu dengan memanfaatkan musuh alami seperti burung hantu (Tyto Alba). Beberapa perkebunan kelapa sawit sudah menerapkan teknik pengendalian tikus dengan menggunakan burung hantu, salah satunya adalah PT Serikat Putera. Pengembangan burung hantu yang dilakukan dengan cara memasang nest box atau gupon di areal tanaman kelapa sawit dengan rasio luasan tertentu sebagai tempat tinggal dan berkembang biak.
Keberhasilan pengembangan burung hantu bisa dilihat dari tingkat hunian nest box, dan efektifitas pengendalian dapat dilihat dari populasi tikus dan tingkat serangan pada buah. Untuk itu maka perlu dilakukan suatu kajian secara mendalam tentang pengembangan burung hantu dan efektifitasnya dalam mengendalikan serangan hama tikus terhadap tandan kelapa sawit sehingga dapat menyakinkan setiap pelaku usaha perkebuan kelapa sawit untuk menerapkannya di lapangan.
*) Santobri : Mhs Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Riau

Tidak ada komentar: