Jumat, 13 Juni 2008

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 4/4)

Judul : Dampak Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budi Daya Kelapa Sawit Terhadap Degradasi Lingkungan Dan Upaya Penaggulangannya
Oleh : Santobri
Mhs SM II Pascasarjana - Program Studi Ilmu Lingkungan
Universitas Riau - Pekanbaru

IV. KEBIJAKAN DAN SOLUSI PERMASALAHAN

Berbagai perkembangan kegiatan perekonomian baik bertaraf lokal, regional, maupun nasional akan menyebabkan keberadaan potensi sumberdaya alami terutama di kawasan lahan basah semakin terancam klestariannya. Mulai tampak berkurangnya luasan alami kawasan lahan basah , dan secara langsung maupun tidak langsung menurunkan mutu dan fungsi ekologis dari sumberdaya alami setempat. Pemanfaatan yang sudah berlangsung ternyata berpengaruh besar terahadap penyusutan mutu dan keberadaan sumberdaya keanekaragaman hayati. Kecenderungan pemanfaatan yang ada menujukkan bahwa masih banyak pihak yang berkepentingan terhadap daerah itu masih perlu diberkali pengetahuan tentang strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Untuk meminimalkan dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan, maka perlu suatu strategi atau upaya pengelolaan yang baik dan benar yang memenuhi kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut yang sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan gambut.

Sebenarnya, apabila hutan rawa gambut diperlakukan secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya, maka hasil yang diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dapat dijumpai di beberapa tempat di Pantai Timur Sumatera, khususnya di Jambi dan Riau, merupakan salah satu bukti tentang keberhasilan dalam mengelola gambut Indonesia, walaupun masih ada dibeberapa tempat yang belum berhasil dengan baik.

Pembelajaran yang diperoleh dari sini adalah bahwa pengelolaan lahan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan gambut, kubah gambut sama sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada lahan gambut harus diatur dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan muka air, termasuk muka air tanah yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran tanaman.

Berdasar sifat inheren bahan gambut dan hasil pembelajaran dalam pengelolaan lahan gambut, maka pengembangan lahan gambut Indonesia ke depan dituntut menerapkan beberapa kunci pokok pengelolaan yang meliputi aspek legal yang mendukung pengelolaan lahan gambut; penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah fungsional ekosistem gambut; pengelolaan air; pendekatan pengembagan berdasarkan karakteristik bahan tanah mineral di bawah lapisan gambut; peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut dan pengembangan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.

Secara khusus hal-hal yang harus diperhatikan untuk menahan laju degradasi lahan gambut pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah memembuat suatu sistem tata air (water management system) yang betul-betul terencana dengan baik sehinga dapat memperhatikan tinggi muka air yang sesuai. Secara umum tinggi muka air tanah gambut pada lahan kelapa sawit adalah 60 cm di bawah permukan tanah. Dengan kedalaman muka air tanah 60 cm, diharapkan kelembaban tanah di bagian atasnya akan tetap terjaga (terhindar dari kekeringan) dan dilain pihak perakaran tanaman tidak tergenang.

Pengaturan tinggi muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu-pintu pengatur air pada kanal-kanal drainase dan memonitornya setiap saat sebagai upaya mengantisipasi kelebihan air yang mengakibatkan areal tergenang ataupun kekurangan air yang mengakibatkan kekeringan.

Untuk mempertahankan keanekaragaman hayati makan lahan-lahan yang menjadi kawasan lindung harus tetap dipertahankan, Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tentang keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi atau high covservation value (HCV) selajutnya melakukan pembatasan-pembatasan dan upaya pengelolaannya. Penentuan kawasan lindung gambut sudah diatur oleh pemerintah dalam bentuk Keppres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung..


Cara lain untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan menerbitkan serta menegakan hukum yang mengatur penggunaan lahan. Peraturan mengenai tta guna lahan berupa pembatasan luas serta akses dan pemanfaatan lahan, maupun pencegahan dan pengendalian populasi. Sebagai contoh, akses bagi kendaraan dan pejalan kaki mungkin perlu dibatasi pada wilayah yang rawan terhadap kerusakan, seperti lokasi burung bersarang, tanah bergambut dalam, sumber air minum dll yang sifatnya dilindungi (Indrawan et all., 2007).

Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai perangkat dalam upaya mencegah penggunaan lahan gambut yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan, yaitu berupa Kepmen LH No. 5 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah. Dalam panduan tersebut sudah sangat jelas apa-apa yang harus dianalisis untuk mendapatkan apa-apa yang boleh dilakukan dan apa-apan yang tidak boleh dilakukan dalam upaya pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan.

Upaya untuk mencegah kebakaran lahan gambut adalah dengan tidak membuka lahan dengan cara bakar, tidak melakukan drainase yang berlebihan, membuat menara pemantau api, membuat regu pemadam yang dilengkapi dengan peralatannya dll, yang sifatnya mudah dilakukan di lapangan.
Upaya pemanfaataan lahan gambut seyogyanya melibatkan unsur masyarakat tempatan, baik langsung maupun tidak langsuh dalam kegiatan usahanya, dan selau memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

V. KESIMPULAN

Lahan gambut sebagai sumberdaya dalam tiga dekade terakhir telah dimanfaatkan untuk kepentingan berbagai sektor seperti sektor pertanian dalam arti luas yaitu sektot perkebunan, kehutanan dan ranaman pangan. Perkebunan kelapa sawit merupakan subsektor pertanian yang sudah banyak memanfaatkan lahan gambut.

Pekebunan kelapa sawit di lahan gambut memberikan hasil yang baik dimana produksinya tidak kalah dengan yang diusahakan di lahan mineral yaitu sekitar 22 – 28 ton TBS/ha./tahun.

Lahan gambut merupakan lahan marginal yang rapuh dan rentan terhadap kerusakan, oleh karena itu perlu suatu pengelolaan dengan prinsip kehait-hatian Hal-hal yang rentan tersebut adalah subsidensi gambut, pengeringan gambut (sifat irreversible), hilangnya fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi kawasan, terjadinya kebakaran lahan, emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menekan laju degradasi lingkungan lahan gambut di areal yang diusahakan adalah dengan mengatur tata air (water management system), dengan tetap mempertahankan tingi muka air pada kedalaman 60 cm di bawah permukaan tanah.
Lahan gambut sebagai fungsi lindung harus tetap dipertahankan dengan tidak memanfaatkannya secara serakah. Lahan gambut sebagai sebuah sumberdaya dalam pemanfaatanya harus dikelola sesuai dengan kemapuan dan kodrat alamiahnya yang dalam prakteknya dituangkan dalam studi analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Kamis, 12 Juni 2008

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 3/4)

III. PEMBAHASAN
Santobri...... Pekanbaru
3.1. Pemanfaatan Lahan Gambut sebagai Sumber Daya

Gambut sebagai sumer daya sudah diperhatikan dan telah menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional sejak pemerintah mengembangkan daerah pasang surut sebagai tujuan pembangunan trnasmigrasi pada awal Pelita I. Seminar-seminar pengembangan wilayah pasang surut yang diselengarakan era tahun 70-an mulai menaruh perhatian pada problema-problema yang dihadapi apda pengembangan transmigran di daerah gambut. Kemudaian setelah memalui berbagai proses akhirnya pada tahun 1991 dibangun suatu Pusat Riset Gambut Tropika di Potianak, kerjasama antara BPPT dengan Pemda Tk I Kalimantan Barat. Tujuan puast Riset tersebut adalah membangun suatu sarana pemanfaatan gambut dan lahan gambut secara optimal dalam suatu kerangka menunjang pembangunan nasional berkelanjutan (Setiadi, 1993).

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Seperti di beberapa daerah di Riau yang sejak era tahun 1990 sudah memanfaatkan lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit. Sayangnya data luasan lahan gambut yang diusahakan untuk perkebunan kelapa sawit tidak tersedia, tetapi berdasarkan pengamatan kami diperkirakan sudah ratusan ribu hektar, baik yang diusahakan oleh perusahaan besar maupun oleh perorangan.

Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan yang di tanah mineral, seperti dilaporkan Lim (2005) dalam Lim (2006) yang melakukan penelitiannya di Riau, pada tanaman umur 7 tahun (tahun tanam 1998) dengan mempertahankan kedalaman tinggi muka air 50 -75 cm dari muka tanah menghasilkan tandan buah segar (TBS) 28.4 ton/ha/tahun dibandingkan 22 ton/ha/tahun pada lahan yang kedalaman muka airnya pada level 100 cm dari permukaan tanah.
Suandi dan Chan (1989) melaporkan bahwa produksi kalapa sawit pada tanah gambut di kebun Ajamu Labuhan Batu Sumatera Utara (PT.Perkebunan VI) mencapai 22 – 27 ton/ha/tahun. Selanjutnya Gurmith, et al.., (1987) dalam Chan dan Lubis (1989). melaporkan bahwa produksi kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 popok per hektar pada tahun ke delapan panen adalah 24 ton/ha/tahun sedangkan pada umur panen 5 – 8 tahun menghasilkan TBS mencapai 26,4 ton/ha.

Tingkat keberhasilan dari budidaya kelaap sawit di lahan gambut merupakan upaya yang terintegrasi dari berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman dengan menggunakan bibit yang unggul dan sesuai, pemeliharaana tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman, manajemen pengelolaan drainase dll. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan lahan yang rapuh atau marginal sehingga apabila salah dalam mengelolanya akan berdampak pada kerusakan fungsi gambut itu sendiri. Apabila kondisinya sudah rusak maka akan sulit untuk memperbaikinya.

3.2. Dampak Pembangunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut

3.2.1. Dampak terhadap Lingkungan

Secara kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan hasil dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan berbeda ketika dilakukan di lahan gambut, dibandingkan dengan pada lahan mineral, mengingat lahan gambut merupakan lahan yang unik dan rentan terhadap kerusakan.

Hal-hal yang mempengaruhi tingkat kerusakan lahan gambut diantaranya adalah
Pembukaan lahan
Pembuatan parit/kanal drainase yang berlebih.
Kebakaran lahan
Memanfaatkan lahan gambut yang mempunyai kedalamn > 3 meter yang merupakan kawasan hutan lindung gambut yang diatur oleh Kepres no 32 tahun 1990.
Lingkungan yang akan terkena dampak meliputi :
Sifat fisik dan kimia tanah
Keanekaragaman hayati/ vegetasi alam (flora dan fauna)
Sistem hidrologi (fungsi pemasuk air, pengendali air/banjir, pencegah intrusi air laut).
Emisi gas rumah kaca

Pembukaan Lahan

Dampak pembangunan kelapa sawit yang cukup besar terhadap lingkungan diantaranya adalah lenyapnya vegetasi alam serta flora dan fauna yang unik dan akan menjadi sangat berbahaya apabila mengalami kepunahan yang total pada sebagian besar kawasan di Indonesia.

Pembukaan lahan gambut akan menghilangkan fungsi hutan gambut sebagai pemasok baha-bahan yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan dan daging satwa, rotan, getah dan tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh masyarakt lokal. Pembukaan lahan gambut juga akan menurunkan fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, satwa langka dan tumbuhan penting, komunitas dan ekosistem.

Pembuatan Kanal Drainase

Pembuatan kanalo drainae bertujuan unutk menurunkan muka air tanah dan mengatur tata air sehingga lahan tidak tergenang tetapi juga tidak kering. Akan tetapi pembuatan parit atau kanal merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut. Berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh adanya drainase yang berlebih sehingga berdampak pada pengeringan gambut.

Seperti diketahui bahwa tanah gambut bersifat irreversible dimana apabila mengalami pengeringan yang berlanjut akan mengakibatkan gambut tidak punya kemampuan lagi dalam mengikat air. Atau gambut tidak punya kemampuan lagi sebagai penyimpan air pada saat musim hujan dan melepasnya pelan pada musim kemarau. Pembukaan kanal-kanal drainase akan mengurangi fungsi lahan gambut sebagai pengendali higrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan mencegah banjir dan kebakaran.,

Penuruan muka air tanah juga akan mempercepat laju pemadatan tanah (subsidensi), sehingga akan mengurangi kemampuanya dalam menyimpan air. Penurunan muka gambut mambuat lahan menjadi amblas. Subsidensi gambut di lahan perkebunan kelapa sawit ditandai dengan rebahnya pokok sawit atau pokok doyong. Kondisi ini tentu merugikan kebun itu sendiri.

Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau tanah dengan sulfat masam dan intrusi air laut. Dampaknya adalah tanah dan perairan akan menjadi sangat masam, sehingga dapat meracuni tanaman yang ada di atasnya.

Kebakaran Lahan

Fakta bahwa terjadi kerusakan gambut terindikasi dari adanya pembukaan lahan dengan cara bakar. Hal ini lumrah dilakukan pada pada awal tahun 1990, yang sangat jelas tercantum dalam panduan-panduan sistem pembukan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, misalnya yang ditulis oleh Pangudijatno (1989) dalam buletin Perkebunan Vol 20 (3), yang kemudian diadopsi oleh perusahaan perkebunan dalam menjalankan kegiatannya.

Kejadian kebakaran lahan gambut sudah sering terjadi, bahkan baru-baru ini yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir di areal kebun K2I yang merupakan proyek Pemerintah Propinsi Riau Kejadian kebakaran lahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap ekonomi maupun lingkungan. Dari sisi tanah, sifat fisik gambut akan rusak, dari sisi udara terjadi pencemaran udara. Dampak dari kebakaran lahan adalah setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap yang menyesakan. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang kontroversial.

Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hot spots (titik panas) terjadi di lahan gambut

Pembukaan lahan gabut dengan cara mebakar, rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilang kemampuan menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar

Emisi Gas Rumah Kaca.

Lahan gambut menghasilkan gas rumah kaca berupa CO2, Gas Methan.(CH4) dan nitrus oksida (N2O). Emisi gas tersebut akan meningkat seiring dengan menurunnya tinggi muka air tanah akibat drainase yang berlebih. Tanah gambut menyimpan karbon dalam jumlah yang cukup banyak yaitu sekitatr 3771 ton/ha. (Melling et al, 2007). Selanjutnya bedasarkan penelitiannya di Mukah, Sarawak Malaysia, bahwa pada lahan gambut dengan vegatasi tanaman kelapa sawit akan menghasilkan emisi karbos (CO2) sebanyak 1.540 g C/m2/tahun. Sebaliknya tanaman kelapa sawit di lahan gambut selam lima tahun akan menyimpan karbon sebanyak 27 ton C/ha., yang disumbangkan dari batang, pelepah dan akarnya.




Pengelolaan air merupakan faktor utama yang dapat mengontrol laju oksidasi. Dari inkubasi bahan gambut selama 7 hari mendapatkan emisi CH4 dari gambut yang telah didrainase dalam suasana anaerob melepaskan 4500 ng CH4/gram bahan gambut segar, sementara dari gambut alami hanya 10 ngCH4/gram Selanjutnya berdasarkan perhitungan tersebut diestimasi dalam kondisi anaerob bahwa gambut dengan ketebalan 1 meter akan melepaskan CH4 sebesar 1,10 mg/m2/jam dan CO2 sebesar 71,9 mg/m2/jam (Chapman dkk, 1996 dalam Barchia, 2006).

Kandungan karbon lahan gambut di Pulai Sumatera pada tahun 1990 sekitar 22.283 juta ton dan pada tahun 2002 tinggal sekitar 18.813 juta ton atau telah mengalami pelepasan sebanyak 3.470 juta ton atau 15,5 % dari total karbon Pulau Sumatera (Wahyunto dkk, 2005 dalam Bruchia, 2006). Pengurangan ini diakibatkan oleh adanya aktivitas pembukaan lahan gambut untuk berbagai keperluan.
Seperti telah dibahas di bagian atas, pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
3.2.2. Dampak terhadap Ssosial Ekonomi

Secara ekonomi pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat dalam mingkatkan devisa negara, meningkatkan perekonomian daerah, meningkatkan kesempatan kerja dan peluang berusaha. Kondisi saat ini kelapa sawit merupakan komoditi andalan dan merupakan industri yang tetap bertahan pada saat terjadi krisis ekonomi.

Sebagai gambaran penggunaan tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit menggunakan norma 0,2 HK (hari kerja)/hektar lahan. Apabila luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 100.000 ha maka tenaga yang bekerja langsung di sektor tersebut sebanyak 20 ribu orang, belum lagi tenaga yang bekerja secara tidak langsung karena adanya kegiatan perkebunan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan gesekan-gesekan sosial seperti kecemburuan sosial, konflik lahan baik perorangan maupun hak-hak ulayat/adat. Pembukaan hutan gambut akan menghilangkan mata pencaharian penduduk lokal yang biasa mengandalkan kehidupannya dari hutan gambut tersebut. Dalam prinsip pembangunan berkelanjutan faktor sosial sangat penting untuk diperhatikan, sehingga terjadi sinergi antara masyarakat lokal dengan pelaku usaha.

Degradasi Lahan gambut di Kelapa sawit (bagian 2/4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Lahan Gambut

2.1.1. Pembentukan Gambut

Gambut adalah sisa tumbuhan yang telah mati dan kemudian diuraikan oleh bakteri anaerobik dan aerobik menjadi komponen yang lebih stabil. Selain zat organik yang membentuk gambut terdapat juga zat organik dalam jumlah yang kecil. Di lingkungan pengendapannya gambut ini selalu dalam keadaan jenuh air (lebih dari 90 %). Zat organik pembentuk dalam perbandingan yang berlainan sesuai dngan tingkat pembusukannya (Siddik et all, 1993). Zat organik tersebut terdiri dari cellulosa, lignin, bitumin (wax dan resin), humus dan lain-lain. Unsur-unsur pembentuk gambut sebagian besar terdiri karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan oksigen (O), selain itu terdapat juga unsur-unsur Al, Si, Na, S, P, Ca dalam bentuk terikat. Tingkat pembusukan pada gambut akan menaikan kadar karbon (C) dan menurunkan oksigen (O).

Proses-proses yang berperan dalam pembentukan gambut secara lebih rinci telah dijelaskan oleh Everett (1983) dalam Lopulisa (1993). Proses-proses tersebut umumnya dapat dikelompokkan ke dalam dua proses utama yaitu pembentukan rawa dan naiknya muka air tanah. Naiknya muka air tanah disebabkan oleh terhambatnya drainase, terbentuknya lapisan beku permanen, menurunnya evapotraspirasi, terbentuknya lapiasn cadas, atau mencairnya es yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Dengan meningkatnya permukaan air tanah, pertumbuhan vegetasi menjadi tertekan kecuali tumbuhan yang tahan air yang memungkinkan akumulasi bahan organik.

Tanah gambut merupakan tanah yang berbahan induk dari sisa tumbuhan dengan proses dekomposisi terhambat, tidak atau hanya sangat sedikit (< 5 %) mengandung bahan tanah mineral terkristal. Tanah gambut bersifat sarang (porous) dan sangat ringan (Maas, 1993). Selanjutnya dikatakan bahwa kualitas gambut dipengaruhi oleh bahan penyusun gambut, ketebalannya, tingkat dekomposisi dan tata air serta lingkungan gambut tersebut. Gambut yang berada dalam suasana tawar akan berbeda dengan gambut yang berada dalam lingkungan yang payau atau asin.

Laju akumilasi bahan organik sangat tergantung dari produktivitas vegetasi sebagai bahan pembentuk gambut yang sangat ditentukan oleh lokasi geografis, spesies tanaman dan laju dekomposisi bahan organik. Laju akumulasi bahan organik dapat berkisar dari 1,8 cm/ 100 tahun misalnya di Norwegia sampai 200 cm/100 tahun seperti di Bermuda (Everett, 1983 dalam Lopulisa , 1993).

2.1.2. Sifat Fisik dan Kimia Gambut

Dari sifat dan karakteristik gambut yang paling penting adalah sifat dan karateristik fisika yang ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan itu sendiri. Kerapatan lindaknya berkisar antara 0,05 – 0,40 gram/cm3, mempunyai porositas 75 – 95 % (Kyuma, 1987 dalam Dai,1989). Mampu menyimpan air 3 sampai 5 kali bobotnya. Tingkat kematangan gambut sangat berpengaruh terhadap sifat fisk, kimia dan hidrologinya. Pada gambut saprik daya simpan airnya < 450 % dari berat keringnya (Purwowidodo, 1991 dalam Triutomo, 1993).

Tanah gambut dalam keadaan tergenang secara permanen, sehingga sisa-sisa tanaman yang mati tidak mengalami pelapukan dan seolah-olah mengalami pengawetan. Semua bagian tanaman tersebut masih menunjukkan bentuk aslinya. Tanah tidak mengalami perkembangan struktur dengan konsistensi lepas, bersifat spon dapat menyerap dan menahan air dalam jumlah besar. Dengan pembuangan air (drainase), masa gambut akan melepaskan airnya dan jika berlanjut akan menyebabkan pengerutan dan penyusutan masa atau dikelan dengan ”subsidensi”. Jika pengeringan berlangsung intensif dan cepat, dapat terjadi penyusutan tak balik (irreversible shrinkkage) dan membentun pasir semu (pseudo sand) (Pangudijatno, 1989)


Dalam Taxonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003), tanah gambut didefinisikan sebagai tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 20 % (bila tanah tidak mengandung liat) atau lebih dari 30 % (bila tanah mengandung liat 60 % atau lebih) dan tebalnya secara kumulatif lebih dari 40 cm. Tahan gambut atau Histosol dikaslifikasikan kedalam tiga suborder berdasarkan tingkatan dekomposisi bahan gambut yaitu Fibrist dengan BD <> 0,2 gram/cc.

Gambut di Indonesia bervariasi kedalamannya mulai 0,6 hingga lebih dari 6 meter. Berdasarkan kedalamannya lahan gambut digolongkan dalam 3 kriteria yaitu dangkal ( 0,6 – 1 M), sedang (1-2 m) dan dalam > 2 meter (Dolmat et al 1982 dalam Purba dan Siregar, 1989).

Pada tanah gambut Sumatera yang memiliki ketebalan kurang dari 50 cm mempunyai pH 4,0 – 5.1 sedangkan gambut yang tebalnya lebih dari 50 cm pH tanah berkisar` antara 3.1 – 3.9. Sumber kemasaman pada tanah gambut berasal dari asam-asam anorganik seperti asam sulfat maupun asam-asam organik (Hardjowigno, 1989). Kadar nitrogen (N) sangat rendah dibandingkan dengan kadar karbon (C), sehingga nilai perbandingan C/N jadi sangat tinggi, yang menujukkan sangat lambatnya proses pelapukan berlangsung. Rendahnya pH tanah juga menyebabkan kurang tersedianya unsur hara makro yang lain seperti fostat (P), kalium (K), magnesium (Mg) dan kalsium (Ca) (Pangudijanto, 1989).

2.2. Fungsi Ekosistem Lahan Gambut Ekosistem rawa gambut berperan penting dalam pengaturan sistem di biosfer. Setiap unsur dari sub-sistem dalam ekosistem rawa berinteraksi membentuk proses-proses terhadap lingkaran kehidupan termasuk siklus biogeokimia, pendukung rantai makanan, dinamika hidrologi dan kualitas air, wilayah habitat untuk beragam spesies flora dan fauna (Barchia, 2006). Lahan gambut berperan penting dalam tata air kawasan. Ia bersifat seperti spon penyerap kelebihan air di musim hujan hingga dapat mencegah banjir. sementara itu, di musim kemarau, air yang dimilikinya akan terlepas secara perlahan. Hutan hujan tropis rawa di Indonesia termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaragaman kehidupan liar lainnya. Sejumlah satwa langka, seperti buaya senyulong dan harimau sumatra, menjadikan lahan gambut sebagai tempat berlindung. Hutan rawa gambut juga merupakan daerah pengasuhan, daerah pemijahan dan pembesaran atau tempat mencari ikan dari berbagai biota air, seperti ikan , udang, kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya (Tepu, 2004 dalam Barchia, 2006). Pada hutan rawa gambut juga ditemukan banyak jenis pohon bernilai ekonomi seperti ramin, meranti, durian, kempas, punak, balam, jelutung dan lain-lain. Hutan rawa gambut yang mempunyai ketebalan lebih dari 3 meter tertantu merupakan kawasan lindung sebagai mana tertuang dalam Kepres nomor 32 tahun 1990. Ekosistem rawa gambut juga merupakan tempat pemendaman karbon yang telah berlangsung ribuan tahun. Laju penumpukan karbon rata-rata rawa gambut sekitar 0,74 ton/ha/tahun. Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5000 ton/ha. Sebaliknya emisi gas CO2 oleh lahan gambut diperkirakan 100 – 400 mg/m2/jam atau 9 – 35 ton/ha/tahun. Lahan gambut juga berperan penting bagi seisi alam dalam kapasitasnya sebagai penyimpan karbon. Gangguan fungsi yang satu ini dapat menyebabkan lepasnya karbon ke atmosfer dan mendorong laju perubahan iklim (Barchia, 2006).

2.3. Penyebaran Lahan Gambut dan Potensinya

Data luasan lahan gambut sangat beragam menurut sumbernya. Menurut PPT (1981 ) dalam Barchia (2006) luas sumberdaya lahan gambut di Indonesia yaitu 27, 06 juta hektar, dimana 8,9 juta hektar berada di Sumatera, menurut Euroconsult (1984) luas lahan gambut di Indonesia mencapai 20 juta. Menurut Sukardi dan Hidayat (1988) luas lahan gambut di Indonesia mencapai 18,48 juta ha sedangkan menurut Nugroho (1992) mencapai 15,5 juta ha. Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984.

Menurut Bapedda Tingkat I Riau (1993) Endapan gambut dataran rendah di Riau telah dikenal sangat luas sebarannya sesuai dengan bentangan dataran pantai, tetapi perkiraan cadangannya masih tertalu kasar yaitu mencapai luasan 1.87 juta ha. Sejak tahun 1984 Direktorat Mineral Bandung telah melaksanakan penyelidikannya dengan membagi sebaran gambut di Riau menjadi tiga bagian yaitu :
a. Gambut di daerah Tembilahan – Rengat (kuantan) disebut endapan gambut kuantan, yang sebagian besar terletak di sebelah selatan sungai Kuantan. Undapan gambutnya idbagi menjadi 5 kubah yaitu Kuala Cenaku, Teluk Kiambang, Reteh, enok I dan Enok II. Dengan ketebalan masing-masing 4; 5; 2; 3,5; dan 2 meter dengan jumlah sumberdaya tidak kurang dari 3 milyard m3. Mutu gambut di daerah ini cukup baik untuk bahan energi (gambut ombrogen) dengan rata-rata nilai kalori 4.600 cal/gr, kadar abu 4 % dan belerang 0,4 %.
b. Gambut di Siak yang meliputi Siak Kanan, Siak Kiri dan Bukit Batu. Ketebalan maksimal di ketiga daerah tersebut masing-masing adalah 4,0; 2,0; dan 1,5 meter dengan sumber daya gambut yang tebalnya lebih dari 1 meter diperkirakan masing-masing seebsar 1,9 milyar m3; 320 juta m3 dan 468 juta m3. Rata-rata nilai analisanya adalah nilai kalori 4.800 cal/gr, kadar abu 1,3 % dan belerang 0,2 %
c. Gambut di daerah Bengkalis, Gambut Bengkalis terdiri dari 4 kubah gambut dengan ketebalan maksimal 8,7,10 dan 7 meter dengan luas masing-masing kubah sekitar 18.500 ha, 31.500 ha, 14.300 ha dan 2.050 ha. Jumlah sumberrdaya gambut yang ketebalannya lebih dari 1 meter adalah sekitar 3 milyar m3. Hasil analisanya menujukkan angka rata-rata nilai kalori 5.500 cal/gram, kadar abu 1 % dan belrang 0,1 %, termasuk jenis gambut ombrogen.

Potensi lahan gambut cukup besar untuk usaha pertanian, dan lahan gambut yang belum dimanfaatkan cukup luas, namun pemanfaatan lahan gambut tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kelestarian dan mencegah terjadinya degradasi yang dampaknya cukup luas baik terhadap sumber kehidupan manusia maupun terhadap fisk lingkungan. Reklamasi lahan gambut harus memegang prinsip bahwa gambut merupakan lahan marginal dan mudah terdegradasi. Gambut dengan kedalaman > 3 meter termasuk kategori kawasan hutan lindung yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini telah dituangkan oleh pemerintah melalui Keppres No. 32 Tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia (Barchia, 2006).

Degradasi lahan gambut di kelapa sawit (bagian 1/4)

DAMPAK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
UNTUK BUDI DAYA KELAPA SAWIT
TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN
DAN UPAYA PENAGGULANGANNYA


Oleh :
SANTOBRI
Mhs Sm II 2007/2008

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2008




I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Ratusan ribu hektar lahan gambut dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Lahan rawa menjadi kawasan andalan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun belakangan ini belakangan ini banyak menuai protes dari para pemerhati dan penggiat lingkungan baik dari dalam negeri maupuan dari luar negeri. Hal ini tentu didasari oleh kekhawatiran rusaknya lahan gambut sebagai fungsi ekosistem yang kompleks..

Meski memiliki fungsi strategis, alih fungsi lahan gambut masih terus berlangsung, baik untuk lahan pertanian maupun pemukiman serta peruntukkan lainnya. Berbagai macam bentuk alih fungsi menyebabkan terjadinya penurunan (gradasi) fungsi strategis lahan gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Seperti fungsi hidrologis, yang berperan penting pada sistim biosfir, yaitu sebagai sumber karbon, pengendali sirkulasi CO2 dan berpengrauh besar pada kondisi keseimbangan karbon di atmosfir.

Selama ini sistem pengelolaan hutan rawa gambut umumnya tidak memperhatikan sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip kelestariannya sehingga berpotensi lahan rawa gambut akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaharui. Kerusakan gambut seperti yang terjadi di Kalimantan dengan program Gambut sejuta hektar, dimana lahan gambut terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya (Mitchell, Ssetiawan dan Rahmi, 2007)

Terjadinya degradasi fungsi lahan gambut, salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman terhadap karakteristik gambut dalam kondisi alami. Pengetahuan tentang keaneka-ragaman karakteristik gambut dalam kondisi masih alami menjadi sangat diperlukan, agar dapat mengelola dengan bijak (benar dan tepat) yaitu bermanfaat secara ekonomi dengan tidak mengesampingkan fungsi lingkungan.

Untuk menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi,maka perencanaan penggunaan, pengelolaan, dan penyelamatan sumberdaya alam itu perlu dilakukan dengan lebih cermat, dengan memperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat yang merugikan kelangsungan pembangunan secara menyeluruh.

1.2. Tujuan
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui sifat dan fungsi lahan gambut, potensi, pemanfaatan dan permasalahannya, sehingga diperoleh suatu cara yang tepat dalam mengelola lahan gambut. Tulisan ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengelola lahan gambut terutama untuk keperluan budidaya tanaman kelapa sawit yang berwawasan lingkungan.

Biaya Olah PKS dan Biaya Lingkungan

BIAYA OLAH VS BIAYA LINGKUNGAN

Oleh Wiwik Widiati
Ast. Sistem Manajemen Lingkungan
Bagian 05.04

Environmental responsibility now day has become an important focus of companies. The strict of environmental regulations urges the companies to consider sustainable development concepts into business decisions. The decisions covering environmental costs up to the production. The companies should identify every step of their process and determine their efforts to reduce environmental impact, and elaborate it into environmental budget to perform better environmental management.

Every process of economic activity simultanously will generate some advantage and disadvantage impact through community welfare, called externality. In managing this impact, the companies should focus on disadvantage impact, such as environmental pollution.

The need to identify sources of polution, is important in estabilished environmental programe. To implement it, the expenditure costs should be intenalized as component of production cost. The advantage of internalizing external cost is protecting company from environmental dispute to community. So far, fairness; transparancy; acoountability and participation, which performed through practising Good Environmental Governance (GEG) shall give positive image.
PENDAHULUAN

Dalam memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan lingkungan yang terus semakin ketat, Perusahaan dihadapkan pada pilihan berupa biaya olah yang realistis, dalam arti lebih tinggi dengan kompensasi kinerja pengelolaan lingkungan menjadi lebih baik atau biaya olah lebih rendah dengan konsekwensi pengelolaan lingkungan yang tidak optimal/buruk. Pembangunan yang semakin meningkat mengandung risiko terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, sehingga dapat mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem sebagai penunjang kehidupan, sementara terjadinya penurunan sistem penunjang kehidupan tersebut akan memberikan dampak pada masyarakat yang harus menanggung beban sosial akibat pencemaran.

Dampak negatif terhadap lingkungan yang timbul akibat suatu kegiatan, pada akhirnya akan menimbulkan beban sosial berupa biaya ekstra yang harus dikeluarkan masyarakat, antara lain biaya untuk berobat, biaya untuk membeli air bersih, kehilangan kesempatan untuk berusaha, dll. Bertambahnya pengeluaran extra tersebut, pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai klaim lingkungan terhadap perusahaan, merupakan indikasi bahwa adanya beban sosial kumulatif berupa dampak langsung yang diterima masyarakat di sekitar industri, maupun masyarakat di sebelah hilir perusahaan yang tidak menerima dampak secara langsung semakin besar.

Semakin ketatnya peraturan perundang-undangan lingkungan berimplikasi pada munculnya tuntutan kepada management perusahaan untuk melakukan perubahan kebijakannya sesuai tuntutan stake holder sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan, dengan cara merealisasikan biaya produksi yang lebih efisien sekaligus menghindari terjadinya pencemaran lingkungan dibanding kewajiban untuk memulihkan lingkungan, yang tentunya lebih memberikan citra yang negatif bagi perusahaan.

FAKTOR EKSTERNALITAS

Dalam suatu kegiatan perekonomian dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Keadaan dimana suatu proses kegiatan dapat menimbulkan manfaat atau kerugian terhadap pihak lain biasa disebut eksternalitas.

Sebagai gambaran untuk lebih jelasnya, terjadinya pencemaran atau polusi, merupakan suatu ekternalitas. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya daya tarik alam (amenity) karena misalnya berubahnya kualitas air sungai, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (polusi udara) serta polusi air, yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat luas.

Pelaku ekonomi/perusahaan yang mengemisikan asap dari cerobong pabrik maupun membuang air limbah ke media lingkungan (sungai) mengakibatkan perubahan kualitas lingkungan bahkan penurunan kualitas yang selanjutnya akan mempengaruhi pihak lain yang memanfaatkan air, tanah maupun udara yang dianggap sebagai common goods atau sumber daya publik dan bersifat open acces. Sebagai contoh, kepuasan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya air, udara dan tanah yang tersedia berkurang dengan terjadinya pencemaran lingkungan.
Dari berbagai isu kasus pencemaran yang menimpa industri, timbulnya ekternalitas akibat adanya kegiatan yang berbenturan langsung bahkan dianggap merugikan kepentingan masyarakat, cenderung diatasi melalui penegakan hukum atau ancaman penerapan sanksi sosial/administrasi sampai kepada tuntutan ganti rugi. Penyelesaian dengan cara ini sebetulnya bisa dicegah, karena akan menimbulkan biaya yang lebih besar dan merupakan preseden buruk bagi perusahaan. Apabila pencemaran yang ditimbulkan akibat proses produksi diperhitungkan maka hal tersebut tidak akan terjadi.
Lingkungan dimana mahluk hidup tinggal, memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya terhadap berbagai jenis polutan yang masuk (kemampuan asimilatif), di sisi lain berbagai teknologi alternatif untuk mengatasi berbagai persoalan pencemaran semakin banyak ditawarkan. Berdasarkan ke dua kondisi tersebut, dan adanya konsep pembangunan berwawasan lingkungan, telah mendorong para pelaku ekonomi, untuk mengatasi munculnya faktor eksternal, dengan cara mengkalkulasi biaya lingkungan (potensi nilai kerugian yang kemungkinan akan dibayarkan kepada pihak lain yang menderita atau terkena dampak sekaligus sebagai pengguna sumberdaya publik). Hasil kalkulasi biaya lingkungan/eksternal tersebut kemudian diintenalisasikan ke dalam komponen biaya produksi atau dikenal dengan istilah internalizing external costs.

ALOKASI BIAYA LINGKUNGAN DALAM BIAYA PRODUKSI/OLAH

Terlepas apakah klaim lingkungan terhadap suatu perusahaan terbukti atau tidak, biasanya kompensasi dalam bentuk ganti rugi uang maupun material lainnya seperti ganti bibit ikan terhadap sumberdaya alam publik yang rusak, akan memberikan gambaran negatif terhadap citra perusahaan, karena persepsi/opini masyarakat terhadap bagaimana perusahaan mengelola lingkungannya telah terbentuk.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, biaya ganti rugi yang akan dibayarkan perusahaan, bisa dicegah atau dihindarkan apabila perusahaan dalam perencanaan kerjanya melakukan kalkulasi dan selanjutnya menganggarkan biaya-biaya yang bersifat pencegahan untuk mengelola titik-titik kritis dalam proses produksi yang berpotensi sebagai sumber pencemar.
Ketika perusahaan dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya terutama aspek keuangan, maka langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan alokasi terhadap biaya lingkungan. Pengalokasian tersebut akan tentunya akan menjadi beban tetap dalam komponen biaya olah. Akan tetapi mengingat hal ini dilakukan secara terencana, maka kemungkinan munculnya biaya tak terduga akibat klaim lingkungan dapat dihindarkan. Yang menjadi pertanyaan adalah berapakah biaya lingkungan yang harus atau pantas dialokasikan/dibebankan kepada biaya olah?
Identifikasi terhadap sumber pencemar dan pihak-pihak yang menerima bahan cemaran, diperlukan dalam melakukan penilaian tentang besarnya kompensasi atau ganti rugi langsung yang akan diberikan kepada individu maupun kelompok masyarakat yang terkena dampak negatif. Akan tetapi cara penilaian seperti ini tidak dapat memenuhi keinginan semua pihak.

Sebagai contoh ketika suatu badan air tercemar sehingga menimbulkan dampak pada masyarakat suatu desa seperti kesempatan yang hilang bagi nelayan untuk mendapatkan ikan di sungai (pendapatan berkurang), munculnya penyakit kulit, dan kebutuhan untuk pengadaan air bersih, dll. Maka seluruh nilai kerugian yang diderita masyarakat harus ditanggung oleh pihak pencemar. Besaran nilai kompensasi yang dihitung biasanya sangat besar dan sulit bagi perusahaan yang dianggap sebagai pihak pencemar untuk memenuhi tuntutan ganti rugi tersebut..

Dihadapkan pada hal tersebut, maka menurut penulis upaya-upaya pencegahan dalam mencegah terjadinya pencemaran lebih disarankan daripada pendekatan ganti rugi/kompensasi. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Liingkungan Hidup, Bab IX tentang Ketentuan Pidana Pasal 41, berbunyi sbb.:
1. Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,-

Selanjutnya Pasal 41, mengatur mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh karena faktor kelalaian, sbb.:
1. Barang siapa karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,-

Dengan memperhatikan besarnya denda yang dikenakan kepada orang/badan usaha yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, maka perkiraan kisaran denda yang harus dibayarkan berkisar antara Rp. 100.000.000,- - Rp. 750.000.000,-, belum termasuk biaya ganti rugi untuk pemulihan lingkungan (mitigasi) hukuman kurungan penjara, dan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memulihkan nama baik.


Akan tetapi, ketika dihadapkan pada pilihan untuk mengendalikan biaya olah, maka program-program kegiatan yang ditampung dalam rekening tersebut akan dipangkas terlebih dahulu, karena dinilai tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Di sisi lain, dalam proses produksi kehadiran limbah atau faktor ekternal tersebut secara fisik tidak dapat dihindarkan, bahkan volume yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan tingkat produksi. Pemangkasan bahkan penghilangan pada pos biaya lingkungan, akan diterjemahkan bahwa komitmen perusahaan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungannya untuk memenuhi peraturan perundang-undangan masih belum optimal.

Sampai dengan saat ini belum ada mekanisme untuk menghimpun semua informasi yang berkaitan dengan biaya eksploitasi untuk pengelolaan lingkungan, sehingga harapan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail tentang berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan pengelolaan lingkungan yang dinyatakan dalam Rp/Kg TBS diolah masih belum dapat disajikan.



PENUTUP

Isu pencemaran dan perusakan lingkungan yang diikuti oleh tuntutan ganti rugi untuk pemulihan lingkungan, baik dengan pendekatan musyawarah maupun hukum, dalam praktek bisnis perusahaan sebaiknya dihindarkan, karena implikasi dalam bentuk citra negatif yang ditimbulkan akan merugikan perusahaan.

Dalam penetapan biaya produksi, biaya lingkungan terutama yang bersifat untuk pencegahan dimasukkan ke dalam komponen biaya produksi. Karena mau atau tidak mau, biaya tersebut pasti akan keluar apabila terjadi klaim atau tuntutan ganti rugi akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.


Daftar Pustaka
1. Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Diktat Pelatihan Ekonomi Lingkungan Edisi 1, PSLH UGM Tahun 2002, Yogyakarta.

Senin, 02 Juni 2008

PERAN INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT VS INDUSTRI MINYAK NABATI LAINNYA DALAM PEMANASAN GLOBAL

Dalam hal emisi karbon, Indonesia secara cepat dianggap sebagai negara ke tiga terbesar penghasil gas rumah kaca yang oleh para ahli dipercaya sebagai dalang Global Warming atau fenomena pemanasan global sesudah Amerika dan China, demikian hasil konklusi studi para ahli lingkungan Wetland International dan Delft Hydraulics yang keduanya berasal dari Netherland. Emisi gas rumah kaca tersebut dikatakan disumbangkan dari industri perkebunan yang dianggap menghancurkan hutan-hutan tadah hujan, perluasan lahan perkebunan dengan mengeringkan dan membakar tanah-tanah gambut dan kerusakan lahan akibat pemakaian pupuk kimia secara berlebihan. Praktek-praktek tersebut di atas ini sangat mengejutkan dan langsung merubah citra positif sawit menjadi sebaliknya bahkan sangat buruk kata Allex Kaat juru bicara Wetlands salah satu group pelestari lingkungan sebagai mana dilaporkan majalah Info Sawit, Edisi Nopember 2007.

Ada hal yang menarik untuk kita sama-sama kaji. Bahwa industri perkebunan kelapa sawit tumbuh karena adanya kebutuhan masyarakat dunia akan minyak nabati yang sangat tinggi, dan kita semua tanpa sadar menikmati begitu banyaknya produk-produk baik makanan, kosmetik, obat-obatan dll yang bahan dasarnya dari minyak kelapa sawit. Pertanyaannya adalah seberapa besar sumbangan industri kelapa sawit terhadap kerusakan lingkungan dan pemanasan global dibandingkan dengan industri minyak nabati lainya seperti kedelai dan repeseed oil.
Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) 5-7 ton/ha/tahun, dan apabila dijadikan minyak makan akan menjadi 3-5 ton per ha/tahun. Bandingkan dengan minyak yang dapat dihasilkan dari kedelai yaitu 0,32 ton/ha dan dari repeseed oil hanya 0.62 ton/ha (Saragih, 2001).

Artinya dari sisi kebutuhan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dalam rangka pemenuhan permintaan pasar akan minyak nabati akan lebih sedikit dibandingkan dengan lahan untuk menghasilkan minyak kedalai atau repeseed oil. Atau kebutuhan lahan untuk menghasilkan setiap ton minyak nabati dari kedalai adalah 10 kali lipat dibandingkan dengan minyak kelapa sawit dan jika dibandingkan dengan kebutuhan lahan untuk repeseed oli adalah 5 kali lipat dari kebutuhan luas lahan minyak kelapa sawit.

Dari sisi jumlah biomasa, volume biomasa per hektar kebun kelapa sawit jauh lebih besar dibandingkan dengan kedelai artinya, jumlah karbon yang diserap dan disimpan tanaman kelapa sawit akan jauh lebih besar dibandingkan dengan tanaman kedelai.

Dari sisi lamanya karbon tersimpan, kebun kelapa sawit mempunyai daur hidup 25 sampai 30 tahun, sedangkan kedelai adalah tanaman semusim yang daur hidupnya hanya dalam hitungan bulan. Artinya karbon yang tersimpan pada biomasa kelapa sawit jauh lebih lama dibandingkan dengan tanaman kedelai. Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), bahwa tanaman auat pohon berumur panjang yang tumbuh dihutan maupun dikebun campuran merupakan penimbunan atau penyimpan C (rosot C = C Sink) yang jauh lebih besar dai pada tanaman semusim.

Dari tiga alasan tersebut yaitu luas lahan yang dibutuhkan, jumlah karbon diserap, dan lamanya karbon tersimpan dalam daur hidupnya, maka dunia atau kita semua harus berterima kasih pada industri kelapa sawit yang telah memenuhi kebutuhan pangan kita dengan resiko lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan indutri minyak nabati lainnya. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa idustri kelapa sawit merupakan penyumbang pemanasan global bahkan bisa kita katakan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat merupakan paru-paru dunia, yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar.

Namun demikian kita juga tidak menutup mata kalau industri kelapa sawit dapat menyumbangkan emisi gas rumah kaca, sama dengan kegiatan-kegiatan lainnya di bumi ini. Sumber-sumber GRK dari pembangunan perkebunan kelapa sawit ini yakni dari :
Pembukaan lahan dan kebakaran lahan dimana terjadi pemusnahan tanaman yang ada diatasnya. Namun dengan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar, hal ini dapat diminimalisir. Dimana karbon dari biomasa yang melapuk sebagian akan tersimpan di tanah dalam bentuk humus.
Kegiatan pabrik kelapa sawit, yaitu dari pembakaran di pembangkit dan dari limbah yang dihasilkannya.
Kegiatan transportasi pengangkutan hasil dan kegiatan lainya di dalam perkebunan.

Murdiyarso (2003) menegaskan bahwa emisi (buangan) industri merupakan sumber kerusakan utama terbentuhya karbon di atmosfir yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi ("global warming") dan perubahan iklim. "Kyoto Protokol 1997" dengan United Nation Framework Convention on Climate Change-nya membuat suatu mckanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga tedadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon
Referensi:
Hairiah K dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office. Bogor.
Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto Impikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit Buku Kompas. JakartaSaragih, Bungaran. 2001. Suara dari Bogor : Membangun Sistem Agribisnis. Pustaka Wira Usaha Muda.